KOALISI masyarakat sipil yang tergabung dalam Posko Nasional untuk Sumatera menilai pemerintah lamban menangani banjir Sumatera. Padahal, bencana yang menghantam tiga provinsi Sumatera, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat itu sudah memasuki pekan kedua.
Posko Nasional untuk Sumatera mendesak Presiden Prabowo Subianto segera menetapkan status bencana nasional. Musababnya, pada pekan kedua bencana, ribuan warga di ketiga wilayah terdampak masih terisolasi tanpa logistik, layanan kesehatan, sanitasi layak, hingga jaringan listrik. Sementara berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB per Sabtu, 13 Desember 2025, sebanyak 1.006 jiwa dilaporkan meninggal, 217 hilang, dan lebih dari 5.400 warga terluka.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Di Aceh, akses ke sejumlah wilayah seperti Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, dan Aceh Timur, masih terputus total. Distribusi logistik hanya bisa dilakukan menggunakan helikopter atau perahu nelayan, sedangkan bantuan menumpuk di Bireuen dan tidak menjangkau warga di pegunungan yang terancam kelaparan.
Afif dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menyebutkan pengungsi terbanyak adalah bayi, anak-anak, perempuan, lansia, dan penyandang penyakit kronis. Sementara, tempat pengungsian dinilainya tidak layak, layanan medis minim, sanitasi memburuk, harga bahan pokok melonjak, dan listrik tidak stabil.
“Jika pemerintah tidak memberi kejelasan, sebagian warga meminta kirimkan saja kain kafan, karena yang membuat orang meninggal bukan bencananya, tetapi penanganannya,” tutur Afif melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Sabtu, 13 Desember 2025.
Situasi tak berbeda terjadi di Sumatera Utara. Di Sibolga, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, puluhan titik longsor membuat sejumlah desa sepenuhnya terisolasi. Maulana Sidiq dari Walhi Sumatera Utara mengungkap warga harus berjalan menembus longsor untuk menjemput bantuan.
Di sisi lain, krisis air bersih meluas karena Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) rusak. “Di Batang Toru, gelondongan kayu yang terseret banjir merusak jembatan dan rumah warga. Di Tapanuli Selatan, 22 orang tertimbun longsor di wilayah perkebunan dan dimakamkan secara massal. Pencarian korban terhambat minimnya tenaga, keterbatasan alat berat, dan pemadaman listrik yang belum teratasi,” kata Maulana.
Sumatera Barat juga menghadapi dampak serupa. Banyak nagari terputus akibat jembatan runtuh dan sungai meluap. Lany Verayanti dari Posko Sumbar Pulih menyoroti bahwa tenda pengungsian belum layak. “Anak-anak, perempuan, dan laki-laki masih bercampur sehingga risiko kekerasan seksual meningkat bila penanganan tidak tepat,” kata dia.
Lany menegaskan pemerintah harus menyediakan tenda terpisah bagi para pengungsi. Selain itu, dia juga menyebut pemerintah perlu mempertimbangkan potensi konflik ulayat jika ada rencana relokasi. Sebab, struktur kepemilikan adat di Sumatera Barat sangat kuat, menurut Lany.
Adapun Posko Nasional untuk Sumatera juga menilai minimnya respons pemerintah pusat membuat warga di berbagai lokasi mendirikan hunian sementara secara swadaya. Warga di tiga provinsi, menurut koalisi ini, mendesak Prabowo untuk menetapkan status bencana nasional.
Penetapan status ini dinilai penting, terutama berkaca dari banyaknya korban, lambatnya distribusi logistik, dan potensi warga selamat yang justru meninggal akibat keterlambatan penanganan. Penetapan status bencana nasional juga disebut bisa membuka akses bantuan internasional, mempercepat mobilisasi helikopter dan alat berat, serta memperluas kapasitas koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Edy Kurniawan Wahid, pengacara publik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI, menekankan dalam prinsip maximum available resources, negara wajib memaksimalkan seluruh sumber daya untuk menjamin keselamatan rakyat.
Menurut Edy, parameter status bencana nasional dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana sudah terpenuhi. “Ini sudah masuk kategori kelalaian negara,” kata Edy.
Pilihan Editor: UEA Siap Bantu Banjir Sumatra, Tunggu Lampu Hijau Indonesia





