WAKIL Direktur Imparsial Hussein Ahmad mengatakan ancaman dan teror terhadap aktivis dan influencer untuk membungkam kritik terhadap pemerintah serupa dengan cara yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Ia menduga pemerintah saat ini menghadapi kritik atas penanganan bencana Sumatera dengan ancaman dan kekerasan.
“Warga negara mengkritik bencana. Negara alih-alih memperbaiki diri, justru defensif,” kata Hussein, Rabu, 31 Desember 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Ia menduga pemerintah dan aparat takut menghadapi kritik sehingga mereka menganggap kritik dan gerakan rakyat merupakan kegiatan yang menganggu ketertiban dan stabilitas nasional.
“Pemerintah memakai cara pandang lama yang menganggap bahwa stabilitas negara itu di atas dari pada hak asasi manusia, ” kata dia.
Sebelumnya, aktivis dan sejumlah influencer yang mengkritik penanganan bencana Sumattera mendapatkan teror. Misalnya, pemusik asal Aceh, Ramond Dony Adam alias D.J. Donny, mendapat kiriman bangkai ayam dan surat ancaman. Selanjutnya, influencer asal Aceh, Shery Annavita, mengaku dikirimi sekantung telur busuk dan mendapat tindakan vandalisme di mobilnya.
Tidak hanya itu, rumah Manajer Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik juga dikirimi bangkai ayam beserta pesan bernada ancaman. Teror terhadap Iqbal diduga berkaitan kerja-kerjanya sebagai pengkampanye Greenpeace, terutama kritikannya terhadap kinerja pemerintah dalam menangani bencana Sumatera.
Hussein Ahmad menduga pemerintah sudah menganggap gerakan rakyat merupakan bentuk gangguan terhadap stabilitas nasional sejak demonstrasi Agustus 2025. Ketika itu, masyarakat memprotes kenaikan gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat, situasi ekonomi, serta sederet keputusan pemerintah yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Namun, kepolisian justru menanggapi demontrasi itu dengan menabrak seorang pengemudi ojek online hingga tewas serta menangkap sejumlah demonstran.
Menurut Hussein, pemerintah dan aparat menangani kritik masyarakat dalam demonstrasi itu dengan cara represi. Ia pun melihat pemerintah menggunakan pola yang sama ketika menanggapi kritik terhadap penanganan bencana Sumatera. Adapun banjir dan tanah longsor terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat di akhir November 2005. Bencana ini mengakibatkan sebanyak 1.154 orang meninggal sesuai dengan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana per Rabu, 31 Desember 2025.
“Karena mereka menyuarakan kritik, kemudian mereka dianggap menganggu stabilitas. Ada juga yang dikenakan pasal menghasut. Kemudian mereka dikriminalisasi,” ujar Hussein.
Ia melihat negara-negara yang demokrasinya masih berkembang seperti Indonesia kerap menggunakan cara teror untuk membungkam kritik warga. Pembungkaman kritik itu tergambar dari adanya doxing hingga rumah para pengkritik bencana di media sosial dilempari bom molotov.
“Negara-negara itu (melihat) yang lebih penting dari hak asasi manusia adalah stabilitas negara. Pandangan ini yang menyebabkan hak asasi manusia terpinggirkan selama 32 tahun Orde Baru,” kata Hussein.
Hussein pun mengajak masyarakat menguatkan solidaritas. Ia mengatakan kritik tetap harus disuarakan karena negara sudah membatasi hak warga negara.
“Karena itu kebebasan warga harus dipertahankan dan negara harus terus-terus dikritik. Kalau tidak, (pemerintah) akan semakin semena-mena dan semakin ngawur.”
Dia juga meminta kepolisian segera menyelidiki dan mencari pelaku teror tersebut tanpa menunggu laporan korban. “Kami tidak berharap, tapi itu merupakan kewajiban negara. Itu yang harus negara lakukan karena menjadi tanggung jawab negara,” kata dia.
Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai mengaku belum mengetahui adanya teror terhadap warga yang mengkritik penanganan bencana Sumatera tersebut. “Saya sendiri belum tahu. Jadi, bagaimana saya percaya mereka diteror? Oleh siapa dan karena apa?” kata Pigia, Rabu, 31 Desember 2025.
Ervana Trinakaputri berkontribusi dalam tulisan ini
Pilihan Editor: Penyebab Bendera GAM Berkibar Saat Penanganan Bencana






