INFO NASIONAL – Menteri Transmigrasi, Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara menegaskan bahwa persoalan lahan transmigrasi yang terjadi selama puluhan tahun bukan hanya terjadi di Gambut Jaya, melainkan juga di banyak kawasan transmigrasi lainnya di Indonesia.
Hal itu ia sampaikan setelah menggelar rapat lanjutan pembahasan tindak lanjut penyelesaian lahan usaha transmigrasi Desa Gambut Jaya, Kabupaten Muaro Jambi, di Kantor Kementerian Transmigrasi, Jakarta Selatan, pada Rabu, 31 Desember 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Ia menjelaskan, konflik lahan yang sering terjadi di kawasan transmigrasi disebabkan oleh kebijakan lama yang dinilai sudah tidak lagi relevan dengan tantangan zaman. Perubahan kondisi sosial, ekonomi, dan tata kelola pertanahan menuntut pendekatan baru agar persoalan serupa tidak terus berulang.
Dalam praktik sebelumnya, negara kerap belum menyerahkan Sertifikat Hak Milik (SHM) kepada transmigran di awal penempatan. Hal ini bukan karena kelalaian, melainkan didorong oleh dua pertimbangan utama, yakni kekhawatiran lahan diperjualbelikan serta keterbatasan anggaran untuk proses pengukuran dan sertifikasi yang memerlukan biaya tambahan. Selain itu, banyak lahan transmigrasi yang akhirnya ditelantarkan karena keterbatasan modal, teknologi, tenaga kerja, dan akses pasar.
“Inilah keterbatasan yang dimiliki oleh transmigran. Mereka biasanya menguasai lahan tempat tinggalnya saja. Tapi lahan 1,9 hektar sisanya biasanya terabaikan, kemudian disrobot atau malah dimiliki oleh pihak-pihak lain yang menggarap,” ujarnya.
Kondisi ini memicu tumpang tindih penguasaan lahan dan konflik berkepanjangan. Ia menegaskan bahwa tanah tanpa ekosistem pendukung hanya akan menjadi beban, bukan masa depan. Maka, lanjutnya, langkah konkret yang dilakukan negara adalah dengan merevisi undang-undang transmigrasi.
Iftitah menjelaskan, arah perubahan kebijakan tidak lagi berbasis pengelolaan lahan usaha secara individual, tetapi beralih ke sistem lahan usaha komunal. Dalam skema ini, lahan tidak dapat diperjualbelikan, melainkan dikelola secara bersama-sama dengan prinsip gotong royong. “Pengelolaan lahan secara komunal bukan sebagai kemunduran, melainkan kenaikan kelas dalam sistem transmigrasi,” kata Iftitah.
Di sisi lain, ia juga menegaskan bahwa kekuatan utama transmigrasi saat ini terletak pada ketersediaan lahan dan sumber daya manusia. Namun, terdapat empat kelemahan utama yang harus diatasi, yakni keterbatasan modal, teknologi, akses pasar, serta minimnya penggerak kewirausahaan di kawasan transmigrasi. “Oleh karena itu, kedepan kolaborasi yang akan kami kedepankan. Kementerian Transmigrasi akan menjembatani para transmigran dengan dunia usaha maupun dunia kampus,” katanya.
Sehingga, pembangunan transmigrasi ke depan tidak lagi bertumpu pada pembagian lahan, melainkan berbasis kawasan dan ekosistem. Negara tidak hanya memindahkan penduduk, tetapi membangun sistem ekonomi terintegrasi. Insentif yang ditawarkan pun bergeser dari dua hektare lahan usaha menjadi penyediaan perumahan, pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, serta konektivitas ekonomi kawasan.
“Itulah yang akan kami kembangkan ke depan, sehingga secara pasti basisnya kawasan itu akan tumbuh lebih baik lagi. Karena tugas kami hari ini sesuai dengan tantangan zaman tadi, bukan lagi sekedar distribusi penduduk, tetapi menciptakan pertumbuhan ekonomi yang baru.” (*)






