KOTA SINEMA — Ambisi menjadikan Jakarta sebagai kota sinema berhadapan dengan kenyataan bahwa ekosistem festival film di ibu kota masih tercerai-berai, berjalan tanpa arah kolektif, dan belum ditopang strategi kota yang solid.
Tantangannya bukan semata soal menghadirkan festival besar, melainkan bagaimana menghubungkan aktivitas yang kini terfragmentasi, menyiapkan pendanaan berkelanjutan, serta menumbuhkan budaya menonton di tengah publik.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Persoalan ini mengemuka dalam Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) Jakarta Kota Sinema pada hari kelima, Jumat, 5 Desember 2025, di Hotel Aone, Jakarta Pusat.
Direktur Jakarta Film Week Rina Damayanti dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Tempo Media Group dan Pemprov Jakarta di Hotel A-One, Jakarta Pusat, pada Jumat, 5 Desember 2025. TEMPO/Rega Wijaya
Direktur Jakarta Film Week, Rina Damayanti, mengakui beragam festival film sudah tumbuh subur di Jakarta. Mulai dari festival komunitas, kampus, hingga tematik seperti Jakarta Film Week, Madani International Film Festival, Europe on Screen, dan banyak lagi.
Namun, semua bekerja tanpa koneksi. “Mereka mencari duit sendiri, susah-susah sendiri, kadang ada festivalnya, kadang tidak ada,” kata Rina.
Kondisi ini yang menjadi tantangan bila Jakarta ingin disebut sebagai kota sinema. Pemerintah Provinsi Jakarta, Rina melanjutkan, harus mulai memetakan mana festival yang kuat, yang harus diberdayakan, hingga menentukan bentuk bantuan yang diberikan. “Karena itu juga menjadi indikator bagaimana kota menumbuhkan ini, menjadi subur dan hidup,” ucapnya.
Rina juga memandang partisipasi publik harus tumbuh secara organik. Masyarakat didorong untuk mencintai film, akrab dengan aktivitas menonton, memahami proses produksi, mengenal pelakunya, hingga merasa dekat dengan dunia perfilman secara luas. Dari sana ekosistem dan literasi film bisa berkembang.
Ia mencontohkan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) yang lahir dari partisipasi komunitas, bukan pemerintah. “JAFF itu festival yang tumbuh dari komunitas,” katanya. Selama bertahun-tahun, pemerintah hanya memberi dukungan sekitar Rp 200 juta. Bahkan ketika JAFF berkembang, pemerintah kota mengira festivalnya bisa berjalan sendiri.
Jogja, menurut Rina, tak memiliki pemimpin seperti Wakil Gubernur Rano Karno yang mendorong Jakarta sebagai kota sinema. “Sebenarnya jika pemerintah kota mau, mereka bisa saja mengklaim Jogja sebagai kota sinema. Untungnya tidak terjadi.”
sementara dari sisi pendanaan, Co-Founder Jogja Festivals Felencia Hutabarat memandang ada persoalan lebih mendasar, yaitu relasi festival dengan pemerintah. “Ini bukan persoalan minta dana ke pemerintah. Ini soal tanggung jawab publik yang hanya bisa diwujudkan jika ada dukungan dari pemerintah secara konsisten kalau ingin membuat Jakarta kota sinema,” ujarnya.
Ia mencontohkan kota Rotterdam masih bisa hidup karena pemerintah menjadikan festival filmnya bagian dari strategi kota. Kemudian juga ada Quezon City, Filipina, yang murni pendanaannya berasal dari pemerintah. “Hasilnya bisa dilihat, banyak pembuat film Filipina yang tampil di kancah dunia.”
Meski begitu, ia mengakui bahwa sebagian festival di Jakarta tumbuh secara organik. “Jakarta Film Week ini terobosan, karena diinisiasi langsung oleh pemerintah,” katanya. Namun sebagian besar muncul dari kebutuhan para pembuat film.
Di sinilah, menurut Felencia, dibutuhkan rekayasa kota—baik rekayasa sosial maupun kebijakan yang dirancang matang. Ia memberi contoh Busan, yang sukses karena menjalankan strategi budaya 30 tahun. “Mereka menjual semua produk Korea ke luar, mulai dari infrastruktur hingga digital. Bukan hanya film tapi juga K-pop, semua direkayasa dengan perhitungan fiskal yang matang,” tuturnya.
Selain itu, ia melihat festival harus punya posisi tawar yang tak bisa ditolak oleh pemerintah dan swasta. Contohnya ada Artjog, festival kesenian yang sekarang punya posisi tawar. Hasil studi dampak menunjukkan bahwa dari biaya penyelenggaraan Rp 5 miliar ternyata ada dampak penggandaan 1o kali lipat.
“Jadi Rp 50 miliar dari dampak penggandaan ekonomi itu bukan dihitung dari transaksi yang terjadi di dalam Artjog, karena Artjog tidak bertransaksi,” lanjutnya lagi.
Direktur Tempo Media Group Budi Setyarso dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Tempo Media Group dan Pemprov Jakarta di Hotel A-One, Jakarta Pusat, pada Jumat, 5 Desember 2025. TEMPO/Rega Wijaya
Direksi Tempo Media Group Budi Setyarso sepakat dengan Felencia ihwal potensi Jakarta Film Week. “Kita harus menjadikannya sebagai kekuatan, karena artinya ada satu kesadaran dari pemerintah bahwa film adalah sesuatu yang memang memberikan dampak yang besar buat publik,” ujarnya.
Namun dukungan itu harus diikat dalam landasan hukum. “Untuk memastikan keberlanjutannya harus ada peraturan daerah, sehingga pemerintahan selanjutnya tetap melanjutkan,” tutur produser Laut Bercerita, itu.
Dari perspektif akademisi UI, Suma Riella Rusdiarti, persoalan Jakarta bukan hanya festivalnya, tetapi ekosistem tontonan harian. Ia membandingkan dengan Paris yang menayangkan film alternatif sepanjang tahun. “Di Paris dalam satu minggu ada jadwal film apa yang diputar,” katanya. Film yang diputar tak melulu blockbuster, namun termasuk film bisu, film alternatif, hingga film eksperimental tersedia melalui jaringan ruang nonton.
“Paris membuktikan diri sebagai kota sinema bukan dengan membuat festival besar, tetapi dengan memberikan ruang kepada tempat nonton film dari 50 kursi sampai multipleks,” tutur Suma.
Staf Khusus Gubernur Bidang Pemuda dan Olahraga, Diky Budi Ramadhan, mengakui festival film penting, tetapi fondasinya tetap penonton. “Ini yang sedang kami pikirkan, bagaimana penonton film di Jakarta ini memiliki ketertarikan yang sangat besar atau bahkan mungkin sama dengan di Jogja,” ujarnya.
Diky menambahkan bahwa pemerintah sedang menyiapkan payung hukum. “Jakarta Film Commission akan dibentuk sebagai BLD atau BLUD, karena otomatis itu akan menjadi tanggung jawab pemerintah selanjutnya,” tuturnya.
Komisi ini nantinya menentukan festival yang paling cocok untuk Jakarta—bukan meniru JAFF, melainkan membangun identitas Jakarta sendiri. Seperti Kanada yang memiliki Toronto dan Montreal dengan karakter berbeda. “Yang penting bukan meniru, tetapi membangun kekhasan Jakarta sambil memastikan keberlanjutan dan pengelolaan yang tepat,” ujar Diky. (*)






