KOTA SINEMA — Upaya menjadikan Jakarta sebagai “Kota Sinema” tak cukup mengandalkan jumlah layar atau besarnya penonton. Dampak pengganda (multiplier effect) yang lahir dari pergerakan industri film harus diukur secara presisi. Pembahasan ini mengemuka dalam hari ketiga Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) Jakarta Kota Sinema yang digelar Pemprov Jakarta dan Tempo Media Group pada Rabu, 3 Desember 2025.
Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Wakil Ketua Bidang Pemerintahan Fadhilannisa Apridini menyebutkan tema diskusi ini terinspirasi setelah pulang dari Festival Film di Busan, Korea Selatan September lalu.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Pihak BFC (Busan Film Commission) menyebutkan mereka punya rumus atau pendekatan yang sudah dicoba di Eropa dan Amerika bahwa dampak pengganda dari sebuah film itu bisa enam kali lipat,” tuturnya seraya menyebut indikator yang dihitung termasuk fesyen, kosmetik, dan kuliner.
Desa—sapaan untuk Fahdilannisa—berpikir apakah hal ini bisa diterapkan di Jakarta. Ia pun berharap diskusi ini bisa mengkaji dampak ekonomi yang potensial dari film. “Bisa berasal dari kondisi saat ini atau dari proyeksi tadi,” ucapnya.
Dewan Pengawas Komite Ekonomi Kreatif Jakarta, Ricky Pesik berbicara dalam FGD yang digelar Tempo Media Group dan Pemprov Jakarta di Hotel A-One, Jakarta Pusat, Rabu, 3 Desember 2025. TEMPO/Rega Wijaya
Dewan Pengawas Komite Ekonomi Kreatif Jakarta, Ricky Pesik, menyambut baik pembahasan ini. Ricky yang juga Steering Committee di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), membagi pengalaman menariknya saat JAFF Market diperkenalkan tahun lalu.
Panitia, kata Ricky, selalu menghitung dampak pengganda dari gelaran tersebut. “Kita bermitra dengan perguruan tinggi di Yogyakarta dan tahun ini perhitungannya makin disempurnakan. Kemudian dipresentasikan di penutupan,” tuturnya.
Angka tersebut diperoleh dari pendapatan tiket masuk, jumlah booth yang disewa, hingga jumlah orang yang datang. “Termasuk asalnya dari mana dan berapa lama tinggal di Yogyakarta,” jelas Ricky. Namun untuk proses transaksi bisnis antara pembuat film dengan calon investor tidak termasuk yang dihitung.
Menurut Ricky ada dua hal menarik dalam wacana dampak pengganda ini. Pertama, secara fisik. Dampaknya lokal, seperti yang dirasakan warga setempat. Kedua, yang paling besar adalah Intellectual Property (IP). “Misalnya Harry Potter, itu nggak sampai separuhnya dari film. DC atau Marvel, filmnya nggak dominan.”
Contoh lainnya, lanjut Ricky, adalah film Laskar Pelangi yang mengundang banyak orang datang ke pulau Belitung. “Sebelum filmnya sukses, penerbangan ke Belitung hanya seminggu dua kali. Setelah filmnya meledak, bisa 20 kali penerbangan dalam sehari.”
Konsultan manajemen Chico Hindarto menambahkan usia film relatif lebih panjang ketimbang musik atau acara. “Film bisa ditonton ulang. Kalau event sifatnya sementara saja, mengikuti momentum,” katanya. Sebab itulah, konser harus digelar secara kontinyu setiap tahun, contohnya Java Jazz yang saat ini sudah berusia 20 tahun.
Sedangkan industri film jelas membawa pertumbuhan ekonomi berkelanjutan seperti yang dirasakan Selandia Baru. “Setelah ada film Lord of The Ring, King Kong, juga Star Wars, maka pemerintah negara itu sangat menyambutnya. Padahal negaranya kan di ujung dunia, namun orang tetap tertarik ke sana karena film-film tersebut,” papar Chico.
Tawaran dari BPS
Statistisi Ahli Madya dari Badan Pusat Statistik, Suryadiningrat, menegaskan bahwa dampak ekonomi pengganda industri film tidak bisa dibaca dari jumlah layar atau penonton saja. “Kalau mau melihat dampak ekonomi film secara presisi, harus memakai tabel Input–Output. Dan untuk itu, kita perlu IO khusus industri film,” ujarnya.
Selama ini, tabel IO nasional yang disusun BPS masih bersifat umum dan tidak memecah sektor film secara rinci. Suryadiningrat mencontohkan, BPS baru bisa melakukan pembelahan mendetail jika ada permintaan khusus, misalnya saat berkolaborasi dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada 2014.
Suryadiningrat menyebut temuan dalam IO Ekonomi Kreatif 2014 yang mencatat multiplier sektor film, animasi, dan video sebesar 1,3794. Artinya, setiap permintaan tambahan seribu rupiah di sektor film dapat mendorong ekonomi menjadi seribu tiga ratus tujuh puluh sembilan rupiah. “Seratus rupiahnya berasal dari film, sisanya dari sektor lain yang ikut bergerak,” ujarnya.
Pola serupa bisa diterapkan untuk sektor film asalkan tersedia data tambahan dari industri. “Kami bisa membelah sektor itu, tapi butuh data produksi, investasi, dan jaringan pelaku,” katanya.
Ia menerangkan bahwa dalam kerangka IO, pembuatan film dipandang sebagai aktivitas investasi, bukan sekadar jasa hiburan. Seluruh proses produksi—artis, kru, teknologi, properti, logistik—menjadi rangkaian transaksi ekonomi.
“Membuat film itu seperti membangun gedung. Nilai ekonominya besar justru pada fase produksi,” ujarnya. Setelah film selesai, dampaknya mengalir ke hilir: bioskop, platform digital, pariwisata, hingga penjualan merchandise.
Metode IO memungkinkan pemerintah melihat hubungan sektor film dengan industri lain melalui keterkaitan ke belakang dan ke depan. Keterkaitan ke belakang menunjukkan seberapa banyak input yang dibutuhkan film, seperti penyewa alat, transportasi, dan penyedia kostum.
Sedangkan keterkaitan ke depan menggambarkan sektor apa saja yang terdorong setelah film dibuat. “Dengan dua indikator itu, kita bisa lihat apakah film menjadi pendorong atau penarik ekonomi,” kata Suryadiningrat.
Ia menilai Sensus Ekonomi 2026 akan menjadi momentum besar untuk menyusun data dasar IO film. Dalam sensus itu, BPS akan memetakan seluruh kegiatan usaha non-pertanian dan memasukkan variabel ekonomi kreatif, digital, serta ekonomi syariah. “Nanti kita punya brand usaha kreatif yang lebih detail, termasuk film dan animasi,” katanya.
Akhirul kalam, Suryadiningrat memastikan dampak langsung dan tidak langsung industri film dapat dihitung secara ilmiah, asalkan tersedia data yang cukup,. Mulai dari belanja produksi, kebutuhan sektor pendukung, hingga pengaruhnya terhadap distribusi, event, dan digital platform. “Film bisa menarik dan mendorong sektor lain. Dengan tabel IO, itu semua bisa diukur,” ujarnya. (*)





