Badan Pengkajian MPR bahas strategi perkuat otonomi daerah
- Jumat, 7 November 2025 11:30 WIB
- waktu baca 4 menit
Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI Hindun Anisah mengatakan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan instrumen penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis dan efektif.
Menurutnya dengan otonomi yang lebih luas, setiap daerah akan mendapat ruang untuk menggali potensi, berinovasi, dan melayani masyarakat secara lebih dekat, cepat, dan tepat.
“Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan otonomi daerah masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari ketimpangan pembangunan antarwilayah, kapasitas tata kelola, hingga koordinasi antara pusat dan daerah,” kata Hindun dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Pernyataan itu disampaikan Hindun dalam Forum Group Discussion (FGD) Kelompok III Badan Pengkajian MPR RI dengan tema Desentralisasi, Otonomi Daerah, Pemerintahan Daerah dan Desa.
Kegiatan ini merupakan bagian dari agenda besar Badan Pengkajian MPR RI periode 2024–2029 yang memiliki fokus pada lima tema utama. Yaitu, kedaulatan rakyat dalam perspektif demokrasi Pancasila, kewenangan dan pola hubungan antar lembaga negara, desentralisasi, otonomi daerah, pemerintahan daerah, dan desa, sistem keuangan negara dan pertahanan keamanan negara.
Pada kesempatan itu Hindun juga menyoroti beberapa isu strategis yang perlu dikaji lebih dalam, antara lain relevansi pengaturan pemerintahan daerah dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan perkembangan zaman, lalu hubungan antara pusat dan daerah yang sering kali terjadi tarik-menarik kepentingan.
Kemudian, pengaturan mengenai desa yang belum disebutkan secara eksplisit dalam konstitusi, dualisme kelembagaan desa akibat tumpang tindih kewenangan antar kementerian, serta sistem pemilihan kepala daerah yang menimbulkan persoalan biaya politik tinggi dan polarisasi sosial.
“Melalui forum ini, kami berharap akan lahir rekomendasi yang konstruktif untuk memperkuat kebijakan desentralisasi, memperbaiki tata kelola pemerintahan daerah, dan meningkatkan pelayanan publik demi kesejahteraan masyarakat,” ujar Hindun.
Diskusi ini, kata Hindun merupakan salah satu hal penting dalam penyusunan kajian komprehensif MPR RI, yang nantinya dapat memberikan masukan terhadap arah kebijakan ketatanegaraan, termasuk kemungkinan adanya amandemen terbatas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di masa mendatang.
Sementara Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Fifiana Wisnaeni menegaskan bahwa pelaksanaan otonomi daerah harus tetap berpijak pada tiga prinsip dasar negara, yakni negara kesatuan, kedaulatan rakyat, dan negara hukum.
“Otonomi daerah yang luas harus dimaknai dalam kerangka NKRI. Penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak boleh bertentangan dengan kebijakan nasional,” katanya.
Ia juga mengkritisi ketidakjelasan hubungan antara provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dengan kabupaten/kota, yang menurutnya berpotensi menimbulkan gesekan kewenangan.
“Seharusnya ada kejelasan hubungan hirarki antara gubernur, bupati, dan wali kota. Karena bagaimanapun, gubernur berkedudukan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah,” ujarnya.
Lebih lanjut, Fifiana menilai, dualisme kewenangan antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) sering menimbulkan kebingungan di tingkat desa.
Sebagai solusi, ia mengusulkan perubahan sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) agar dikembalikan seperti masa Orde Baru, di mana DPRD mengusulkan calon dan Presiden menetapkan kepala daerah terpilih.
“Mekanisme ini lebih efisien dan tetap demokratis karena rakyat tetap diwakili melalui DPRD. Selain itu, biaya politik juga jauh lebih ringan,” pungkasnya.
Di kesempatan yang sama, Akademisi FISIP Universitas Diponegoro Kushandayani menekankan pentingnya memaknai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak hanya sebagai bentuk negara, tetapi juga sebagai identitas kebangsaan yang menuntut komitmen kolektif dan tanggung jawab moral.
Kushandayani menyoroti tantangan implementasi otonomi daerah dan desa. Ia menekankan bahwa meskipun desa memiliki hak untuk mengelola pembangunan lokal, dalam praktiknya hubungan hierarki dengan pemerintah kabupaten/kota sering menimbulkan intervensi dan ketimpangan kuasa.
“Bagaimana pemerintah memperlakukan desa sebagai struktur pemerintahan terkecil di bawah kabupaten, dan dalam arena politik nasional maupun daerah, desa seringkali dipandang sebagai lumbung suara,” jelasnya.
Ia juga menekankan perlunya sinkronisasi antara peraturan pusat dan kebijakan daerah, termasuk pengelolaan pendidikan, bahasa, dan sastra, yang seringkali terhambat oleh sistem struktural kementerian yang bertabrakan dengan wilayah kerja daerah.
Baca juga: Badan Pengkajian MPR RI: Otonomi daerah belum capai tujuan ideal
Baca juga: Pemangkasan TKD berpotensi lemahkan pelaksanaan otonomi daerah
Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
Komentar
Berita Terkait
Pimpinan MPR tegaskan komitmen transisi energi Indonesia
- 2 November 2025
Rekomendasi lain
Apa itu Bank Himbara dan siapa anggotanya?
- 9 November 2024
Panduan KIP kuliah 2025: syarat, cara daftar, dan besaran bantuan
- 26 Desember 2024
Daftar bansos yang akan cair pada September 2024
- 2 September 2024
Surat Al Fatihah: Arab, Latin beserta makna dan keutamaannya
- 6 Agustus 2024
Lirik lagu senam “Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat” 2025
- 15 Januari 2025





