TENTARA Nasional Indonesia (TNI) bersama kepolisian melakukan razia terhadap masyarakat yang mengibarkan bendera bulan bintang atau bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Desa Meunasah Mee, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe, Aceh, pada Kamis siang, 25 Desember 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Namun razia terhadap konvoi yang membawa bendera bulan bintang tersebut berujung kekerasan. Sejumlah video yang beredar di media sosial menunjukkan sekelompok orang yang diduga aparat keamanan menghajar warga hingga terkapar.
Ada pula warga yang kepalanya luka-luka karena dihantam dengan popor senjata. Aparat menghentikan konvoi truk bantuan yang menuju Aceh Tamiang untuk memeriksa muatan dan atribut, khususnya bendera bulan bintang.
Video lain menunjukkan sejumlah orang berseragam loreng hijau mengeroyok seseorang dengan menendangnya berkali-kali hingga terkapar, lalu tampak pula beberapa orang berseragam cokelat dengan rompi bertuliskan polisi di sekitar deretan kendaraan yang berhenti.
Kepala Penerangan Kodam Iskandar Muda Kolonel Infanteri Teuku Mustafa Kamal mengatakan saat proses pembubaran, memang terjadi adu mulut antara petugas dan massa. Petugas lantas menangkap seorang warga yang membawa senjata api. “Dari salah seorang warga ditemukan satu pucuk senjata api jenis Colt M1911 beserta lima butir amunisi, satu magazen, dan satu senjata tajam,” kata Mustafa dalam keterangan tertulis, Kamis, 25 Desember 2025.
Ia beralasan pembubaran dilakukan lantaran bendera bulan bintang dilarang karena dianggap sebagai simbol gerakan separatis GAM yang menentang kedaulatan. Pelarangan itu, kata dia, merujuk pada Pasal 106 dan 107 KUHP tentang makar serta Pasal 24 huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007.
Amnesty Minta Pemerintah Selidiki Kekerasan TNI ke Pengibar Bendera GAM
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mendesak penyelidikan independen atas kekerasan yang dilakukan TNI terhadap masyarakat Aceh yang mengibarkan atribut Gerakan Aceh Merdeka. Usman mengatakan tindakan itu merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia (HAM).
“Tindakan represif yang diduga dilakukan aparat gabungan TNI/Polri terhadap relawan yang hendak menyalurkan bantuan ke Aceh Tamiang mencerminkan arogansi kekuasaan. Inisiatif kemanusiaan warga direspons dengan razia, pelarangan ekspresi bendera, pukulan, tendangan, dan laras senjata,” kata Usman Hamid dalam keterangan tertulis pada Jumat, 26 Desember 2025.
Dalam perspektif HAM, kata Usman, setiap warga negara berhak atas rasa aman dan bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Ia menuturkan alasan penertiban bendera bulan bintang ataupun klaim gangguan lalu lintas sama sekali tidak sebanding dengan kekerasan berlebih yang ditampilkan.
Menurut dia, negara telah melanggar mandat untuk melindungi dan menjaga keselamatan warga negara karena tindakan premanisme terhadap warga sipil tak bersenjata.
BEM UGM Desak Panglima TNI Tarik Mundur Pasukan dari Titik Konflik
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM) mengecam peristiwa ini. Padahal konvoi itu merupakan bentuk protes warga Aceh karena Presiden Prabowo Subianto tidak segera menetapkan status bencana nasional untuk Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
“Pemerintah tidak serius menangani bencana. Ekspresi kemarahan warga sipil seharusnya tidak direspons dengan kekerasan,” kata Ketua BEM UGM Tiyo Ardianto pada Jumat, 26 Desember 2025.
Menurut Tiyo, represi itu bukti watak militeristik Prabowo yang bercokol kuat dalam institusi keamanan. Kekerasan oleh TNI, kata Tiyo menunjukkan karakter pemerintahan Prabowo yang menormalisasi represi terhadap masyarakat sipil, menekan kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta cenderung mengandalkan kebijakan penanganan bencana berbasis keamanan.
BEM UGM mendesak Panglima TNI segera menarik menarik mundur pasukan dari titik konflik, menjalankan proses hukum terhadap personel TNI yang terbukti melakukan kekerasan, dan mencopot mereka. Mereka juga menuntut pemerintah menghentikan kriminalisasi warga sipil atau aktivis.
Kebebasan bersuara, kata Tiyo bukan hanya soal hak asasi yang menjadi landasan demokrasi, tetapi komitmen negara dalam melindungi masyarakat, dan berpihak pada kebenaran. Kekerasan itu mengkhianati Reformasi 1998 menghina nilai-nilai kemanusiaan di bumi Serambi Mekkah. “Aparat semestinya melindungi masyarakat, bukan meneror warga sipil yang menyuarakan haknya,” kata Tiyo.
Mabes TNI Mengklaim Informasi yang Beredar Tidak Sesuai Fakta
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Freddy Ardianzah menyesalkan narasi dan video viral yang menyudutkan institusi TNI. “TNI menyayangkan beredarnya video/konten yang memuat narasi tidak benar dan mendiskreditkan institusi TNI. Informasi tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan dan berpotensi menyesatkan publik,” kata Freddy.
Freddy mengatakan penyisiran konvoi terjadi mulai 25 Desember siang sampai 26 Desember dini hari. Razia gabungan dengan Polri dilakukan untuk mencegah konvoi eks kombatan GAM dan antisipasi pembentangan bendera bulan bintang yang dipasang di tiang bambu dan diikat di kendaraan roda empat. “Dengan jumlah massa konvoi sekitar 600 orang untuk menuju ke Kabupaten Aceh Tamiang,” kata Freddy.
Freddy mengatakan larangan pengibaran bendera bulan bintang karena simbol tersebut identik dengan gerakan separatis yang bertentangan dengan kedaulatan NKRI. Larangan inu diatur dalam Pasal 106 dan 107 KUHP, Pasal 24 huruf a, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, serta Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007.






