MENTERI Agama Nasaruddin Umar menegaskan bahwa alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Menurut Nasaruddin, kerusakan lingkungan bukan hanya persoalan ekologi, melainkan juga persoalan spiritual.
Nasaruddin menyampaikan itu dalam seminar ekoteologi yang dihelat di Masjid Istiqlal, Jakarta, pada Sabtu, 20 Desember 2025. Adapun ekoteologi merujuk pada konsep perpaduan antara pendekatan-pendekatan agama dengan isu-isu lingkungan.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Nasaruddin menjelaskan, ekoteologi menuntut keterpaduan antara iman, ilmu, dan amal yang tidak bisa dipisahkan. Ia menegaskan bahwa ekoteologi harus diwujudkan dalam bentuk nyata melalui apa yang disebutkannya sebagai kurikulum cinta. Kurikulum ini, menurut dia, mengajarkan manusia untuk mencintai seluruh ciptaan Tuhan, bukan hanya sesama manusia.
Dalam konteks ini, Nasaruddin menyinggung filosofi tat twam asi dalam tradisi Hindu yang bermakna “aku adalah dia”. Pandangan tersebut, kata dia, sejalan dengan perspektif ekoteologi yang memandang alam sebagai bagian dari diri manusia.
“Ketika sungai dikotori, dijadikan toilet umum atau tong sampah, saya sedih, karena sungai itu aku,” tutur Nasaruddin, dikutip dari keterangan resmi di laman Kementerian Agama, Ahad, 21 Desember 2025.
Ia lantas menekankan bahwa dalam pandangan Islam, seluruh ciptaan hidup dan bertasbih kepada Allah, termasuk yang selama ini dianggap benda mati. Maka dari itu, menebang pohon atau merusak alam berarti memutus kehidupan banyak makhluk yang bergantung padanya.
“Begitu satu pohon ditebang, berapa ratus burung dan berapa ribu serangga yang punah. Dalam bahasa agama Islam, semuanya itu hidup dan bertasbih,” ujar Nasaruddin.
Nasaruddin berkata, jika cinta terhadap alam telah tertanam dalam hati, maka kesadaran untuk menjaga lingkungan akan tumbuh tanpa harus dipaksakan.
Ia menambahkan, tujuan dari pendekatan ini bukan menjadikan manusia sebagai makhluk tanpa salah, melainkan menumbuhkan kesadaran moral agar manusia tidak menjadi perusak. “Kita akan menjadikan manusia jadi malaikat. Tapi itu tentu tidak mungkin. Minimal, jangan jadi iblis,” kata dia.
Nasaruddin kembali menegaskan bahwa alam semesta harus dipandang sebagai bagian dari diri manusia. Menurut dia, ketika alam terluka, manusia seharusnya turut merasakan penderitaannya.
“Mulai hari ini, kita menganggap alam semesta ini bagian dari kita. Kalau dia sakit, seharusnya kita juga sakit,” tutur Nasaruddin.






