KETUA Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Hetifah Sjaifudian mengkritik tata kelola dan iklim persaingan perguruan tinggi di Indonesia. Ia menyebut perguruan tinggi negeri di Indonesia saat ini terjebak pada paradoks logika kuantitas.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Menurut Hetifah, para pengelola kampus cenderung berlomba-lomba meningkatkan jumlah mahasiswa dan program studi dibandingkan kualitas dan keunggulan akademik.
“Padahal pertumbuhan jumlah mahasiswa, program studi, dan penerimaan yang masif tidak selalu diiringi peningkatan mutu pendidikan dan riset,” kata dia melalui keterangan resmi pada Kamis, 18 Desember 2025.
Legislator Partai Golkar itu menuturkan dalam dua dekade terakhir sejumlah perguruan tinggi negeri memang tumbuh pesat menjadi lebih besar. Mahasiswa mereka mencapai puluhan ribu, setiap tahun mencetak ribuan sarjana, hingga gedung perkuliahan yang semakin meningkat setiap tahunnya.
Namun di balik itu, Hetifah berpandangan pertumbuhan kuantitas tersebut tidak diiringi dengan peningkatan kualitas. Mutu riset dan inovasi kampus menurun dan tertinggal, rasio dosen-mahasiswa memburuk, hingga kualitas pembelajaran yang semakin tidak jelas.
Perguruan tinggi, kata dia, mulai mengalami pergeseran nilai. “Ada kecenderungan universitas bergeser menjadi pendidikan massal, mencetak gelar sebanyak-banyaknya, namun belum optimal menjadi pusat keunggulan intelektual dan pengembangan ilmu pengetahuan.”
Ia menambahkan, persaingan tidak sehat tersebut lantas diperparah dengan adanya sistem pendanaan pendidikan tinggi yang tidak adil antara perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta. Terutama karena perguruan tinggi negeri memiliki keleluasaan dan dukungan anggaran yang lebih besar.
Karena itu, ia mendesak pemerintah mengatur ulang sistem pendanaan agar ketimpangan antara PTN dan PTS tidak semakin lebar. Ia juga meminta regulasi ke depan harus mampu mengurangi beban finansial mahasiswa dan kampus guna menciptakan ekosistem pendidikan tinggi yang seimbang antara PTN dan PTS, baik dari sisi pendanaan, tata kelola, maupun peran strategis.
“Tahun depan harus menjadi momentum perbaikan tata kelola pendidikan tinggi. Bukan sekadar mengejar angka dan kuantitas, tetapi mengembalikan kampus sebagai pusat keunggulan, keadilan, dan pencerahan bangsa,” kata Hetifah.






