WAKIL Ketua Komisi II DPR Aria Bima mengatakan rakyat memiliki kewenangan mengganti anggota DPR setiap lima tahun sekali, yakni melalui pemilihan umum. Pernyataan Bima ini merespons permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau (UU MD3) yang diajukan sejumlah mahasiswa ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta supaya rakyat, dalam hal ini konstituen, bisa memecat anggota DPR. “Rakyat bisa menghentikan anggota DPR, (tapi) per lima tahunan. DPR ini kan lembaga, bukan perorangan, keputusannya kan alat kelengkapan dewan, termasuk masa waktu jabatan anggota dewan,” ucap Aria Bima pada Jumat, 21 November 2025, di Gedung DPR, kawasan Senayan, Jakarta Pusat.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Ia berujar, keputusan di parlemen tidak diambil oleh individu di dalamnya, tetapi oleh DPR sebagai suatu lembaga melalui fraksi dan kelompok kerja fraksi di alat kelengkapan dewan. “Seorang anggota itu tidak bisa menjadi hal yang memengaruhi keputusan DPR. Yang memengaruhi di sini adalah keputusan lembaga dengan alat kelengkapan yang ada,” ujar Bima.
Dia menilai tuntutan supaya rakyat sebagai konstituen bisa memberhentikan anggota DPR itu lahir akibat beredarnya narasi negatif terkait dengan kinerja DPR. Namun, Bima melanjutkan, keinginan rakyat tersebut tidak memenuhi prasyarat sistem ketatanegaraan.
“Saya kira itu ide-ide yang mungkin hanya sebagai akibat narasi-narasi yang saat ini persepsi publik ini DPR begitu buruknya. Tapi, kalau dicermati lebih dalam tentang keinginan itu dengan fungsi kinerjanya, itu tidak memenuhi prasyarat-prasyarat untuk bisa diganti secara perorangan,” ujar Bima.
Bima menjelaskan, mekanisme pergantian anggota DPR yang paling relevan adalah lewat pemilu berikutnya. Bagi dia, calon legislatif yang bertarung di kontestasi politik itu akan dievaluasi langsung oleh pemilih. Politikus-politikus yang dinilai berkinerja dan memiliki rekam jejak baik, Bima menuturkan, pasti akan dipilih kembali. “Rakyat diberikan kewenangan untuk mengganti itu per lima tahunan, baik dalam konteks fraksi akan diadili, partai akan diadili, perorangan pun akan diadili,” kata dia.
Adapun menanggapi kritik para pemohon bahwa mekanisme pemberhentian anggota DPR terlalu eksklusif lantaran sepenuhnya berada di tangan partai politik, Aria Bima menegaskan bahwa sistem pemilu legislatif di Indonesia memang secara khusus menjadikan partai sebagai peserta pemilu. Konstitusi, ia menjelaskan, secara tegas mengamanatkan pemilu legislatif berbasis kepartaian. Sehingga kewenangan penarikan kembali atau recall anggota DPR selalu berada di tangan partai politik. “Peserta pemilu legislatif itu adalah partai politik. Peserta pemilu presiden itu adalah perorangan yang diusung partai politik,” tutur Bima.
Lebih jauh, Bima menilai bahwa tuntutan pemecatan anggota DPR oleh rakyat itu tak bisa dilepaskan dari kualitas rekrutmen di partai politik. Maka dari itu, ia menegaskan bahwa pembenahan di tubuh partai politik menjadi jalan memperbaiki parlemen.
“Kalau pengin DPR ini bagus, perbaiki partai politiknya. Kader-kader yang bagus, misalnya, jangan lagi ada penolakan. Pegawai negeri sipil, dosen, dan birokrat boleh dong jadi anggota DPR,” ucap Aria Bima.
Sebelumnya, lima mahasiswa mengajukan permohonan uji konstitusionalitas Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3. Dalam petitum gugatan dengan nomor perkara 199/PUU-XXIII/2025, para pemohon meminta agar rakyat, dalam hal ini konstituen, bisa memecat anggota DPR.
Para pemohon berpendapat pasal yang ada saat ini menyebabkan terjadinya pengeksklusifan terhadap partai politik untuk memberhentikan anggota DPR. Mereka menilai, partai politik dalam praktiknya selama ini seringkali memberhentikan anggota DPR tanpa alasan yang jelas dan tidak mempertimbangkan prinsip kedaulatan rakyat. Namun sebaliknya, ketika rakyat meminta anggota DPR untuk diberhentikan karena tidak lagi mendapat legitimasi dari konstituen, anggota tersebut justru dipertahankan oleh partai politik.
Ketiadaan mekanisme pemberhentian anggota DPR oleh konstituen dinilai telah menempatkan peran pemilih dalam pemilu hanya sebatas prosedural formal. Sebab, anggota DPR terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak, tetapi pemberhentiannya tidak lagi melibatkan rakyat.
Para pemohon pun menyatakan tidak dapat memastikan wakilnya di DPR benar-benar memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan menjalankan janji-janji kampanye karena tidak lagi memiliki daya tawar setelah pemilu selesai.





