WAKIL Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra menyoroti ungkapan no viral no justice (tak viral, tak ada keadilan) yang kerap dilontarkan masyarakat ketika muncul kasus hukum yang menyedot perhatian.
Menurut Saldi, konsep keadilan yang bergantung pada viralitas mungkin bisa relevan untuk kasus-kasus tertentu dan konkret. Namun tidak bisa diterapkan pada kasus abstrak yang menjadi kewenangan MK.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Dalam konteks kasus abstrak, tidak bisa berdasarkan no viral – no justice,” ujar Saldi di UMY Yogyakarta, Jumat 14 November 2025.
Ia mencontohkan sejumlah kasus yang pernah menyedot perhatian publik, seperti kasus Nenek Minah atau kasus guru di Sulawesi yang dipecat karena meminta bantuan orang tua murid untuk menggaji guru honorer yang berbulan-bulan tidak menerima honor.
Menurutnya, kasus-kasus konkret semacam itu memiliki keterkaitan erat dengan opini publik.
Namun, untuk pengujian undang-undang di MK yang sifat normanya abstrak, ia mempertanyakan sejauh mana opini publik dapat memengaruhi hakim. “Seberapa jauh opini publik mempengaruhi hakim, kami belum menemukan buktinya,” kata dia.
Terkait isu intervensi, Saldi menyampaikan anggapan bahwa hakim tidak boleh diintervensi sama sekali sudah tidak realistis, terutama bagi lembaga sekuat MK yang kewenangannya diberikan langsung oleh Pasal 24C UUD 1945. “Pendapat bahwa Mahkamah Konstitusi tidak boleh diintervensi itu terlalu ideal. Wajar saja orang berupaya mengintervensi atau memengaruhi MK, dengan kewenangan sebesar itu,” kata dia.
Karena itu, tantangan utama justru terletak pada kemampuan menemukan hakim dengan ketahanan integritas yang kuat sehingga tidak goyah oleh tekanan politik maupun masyarakat. “Yang harus kita siapkan adalah bagaimana menemukan hakim yang bisa tahan terhadap intervensi itu,” kata dia.
Saldi juga menyinggung pentingnya proses seleksi sebagai langkah awal menghasilkan hakim yang benar-benar independen.
Ia coba membandingkan Indonesia dengan Amerika Serikat dan menilai proses seleksi hakim agung di Amerika jauh lebih sarat kepentingan politik.
Ia mencontohkan Mahkamah Agung Amerika yang baru mengesahkan court of ethics pada 2023. Setelah adanya kasus pelanggaran etik oleh Hakim Clarence Thomas.
Ironisnya, meskipun kode etik sudah diberlakukan, tidak ada mekanisme penegakan yang jelas.
Sebaliknya, MK sudah memiliki mekanisme penegakan etik yang berjalan. “Kita sudah pernah memberhentikan Pak Akil Mochtar (mantan ketua MK yang tersandung suap), pernah juga memberhentikan Pak Patrialis Akbar (eks hakim konstitusi yang tersandung suap) karena melanggar etik, ini artinya, sistem bekerja,” kata dia.
Ia juga menyebut keberadaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sebagai kanal resmi pelaporan.
Saldi pun menekankan pentingnya menjaga integritas secara personal. Salah satunya adalah dengan tidak aktif di media sosial guna menghindari arus opini maupun informasi yang tidak terverifikasi.
Ia mengatakan pentingnya independensi dan ketahanan hakim terhadap berbagai bentuk intervensi, mengingat besarnya kewenangan yang dimiliki MK.






