KOALISI jurnalis, aktivis, dan mahasiswa di Nusa Tenggara Barat menggelar aksi solidaritas menolak gugatan Menteri Pertanian Amran Sulaiman terhadap Tempo. Aksi berlangsung di depan Kantor Gubernur NTB, Selasa, 11 November 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Aksi diikuti sejumlah organisasi pers, termasuk Koalisi Keselamatan Jurnalis (KKJ) NTB, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram, pada Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTB, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) NTB, Asosiasi Media Siber Indonesia (Amsi) NTB, serta lembaga pers mahasiswa.
Ketua AJI Mataram, Wahyu Widyantoro, dalam orasi menyebut gugatan Amran sebagai bentuk pembungkaman pers. Ia meminta pengadilan menolak perkara tersebut karena sengketa pemberitaan harus diselesaikan melalui mekanisme Undang-Undang Pers. “Hari ini Tempo yang digugat, esok lusa bisa jadi kita,” ujar Wahyu dalam siaran pers, Selasa, 11 November 2025.
Dukungan serupa disampaikan Sekretaris PWI NTB, Fahrul Mustofa. Ia menilai tindakan Amran menciptakan preseden buruk karena pejabat publik dapat menggunakan kewenangan negara untuk mengontrol narasi media. Ketua IJTI NTB, Riady Sulhy, mengingatkan pemerintah agar tidak mengulang pola pembredelan sebagaimana pada masa Orde Baru.
Ketua Amsi NTB, Hans Bahanan, menyatakan bahwa gugatan terhadap Tempo berpotensi menjadi praktik SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) —upaya hukum yang bertujuan membungkam kritik publik. Menurut dia, pemerintah seharusnya menghormati mekanisme Dewan Pers ketimbang menempuh jalur litigasi yang dapat mengkriminalisasi kerja jurnalistik.
Ancaman terhadap kebebasan pers juga disoroti Ketua KKJ NTB, Haris Mahtul. Ia menyebut gugatan terhadap Tempo berbahaya bagi jurnalisme investigatif. Haris menyinggung peningkatan kekerasan terhadap jurnalis di NTB: lima kasus pada 2023, delapan pada 2024, dan empat kasus hingga November 2025. “Kami khawatir tren ini terus naik,” kata Haris.
Haris menegaskan bahwa pihak yang keberatan atas pemberitaan dapat menggunakan hak jawab atau hak koreksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers. Ia menolak anggapan bahwa laporan Tempo memojokkan petani. “Pers dan petani berada dalam barisan yang sama,” kata dia.
Aksi ditutup dengan pernyataan sikap yang menolak pembredelan gaya baru serta segala bentuk intimidasi terhadap jurnalis. Para peserta kemudian melepaskan kartu pers sebagai simbol protes atas apa yang mereka sebut sebagai ancaman terhadap kebebasan pers.
Sengketa antara Amran dan Tempo bermula dari cover liputan berjudul “Poles-Poles Beras Busuk” yang terbit pada 16 Mei 2025. Berita itu menyoroti penyerapan gabah Bulog lewat kebijakan any quality seharga Rp 6.500 per kilogram, yang membuat sebagian petani merusak gabah agar lebih berat. Amran sebelumnya mengakui kerusakan gabah itu dalam artikel terkait stok beras nasional.
Perkara ini telah diselesaikan di Dewan Pers melalui PPR Nomor 3/PPR-DP/VI/2025, yang menyatakan Tempo melanggar Pasal 1 dan 3 kode etik jurnalistik. Dewan Pers merekomendasikan perubahan judul poster, permintaan maaf, moderasi konten, serta pelaporan pelaksanaan dan seluruhnya dipenuhi Tempo dalam 2×24 jam.
Meski begitu, Amran tetap menggugat Tempo secara perdata ke PN Jakarta Selatan dengan nomor 684/Pdt.G/2025/PN JKT SEL. Ia menilai masih ada perbuatan melawan hukum yang merugikan Kementerian Pertanian.






