DI tengah derasnya kritik dan penolakan, Presiden Prabowo Subianto berkukuh menganugerahi mantan presiden Soeharto gelar pahlawan nasional. Prabowo adalah menantu Soeharto setelah menikahi Siti Hediati alias Titiek Soeharto.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto diumumkan Prabowo di Istana Negara pada 10 November hari ini atau bertepatan dengan momentum Hari Pahlawan. Selain Soeharto, Prabowo menganugerahi sembilan nama lain gelar serupa.
“Memutuskan, menetapkan dan seterusnya. Satu, memberikan gelar Pahlawan Nasional Kepada mereka yang namanya tersebut. Keputusan ini sebagai penghargaan dan penghormatan yang tinggi atas jasa yang luar biasa untuk kepentingan mewujudkan kesatuan dan kesatuan bangsa,” ujar Sekretaris Militer Wahyu Yudhayana yang mendampingi Prabowo pada hari ini.
Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto lantas memicu kritik dan penolakan publik. Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras, misalnya, menilai Soeharto tak layak untuk menerima gelar pahlawan karena rekam jejak yang buruk.
Lantas, bagaimana rekam jejak Soeharto selama berkuasa 32 tahun lamanya?
Koordinator Kontras Dimas Bagus Arya menjelaskan, berdasarkan temuan dan catatan, Soeharto bertanggung jawab terhadap kasus pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM lainnya selama era pemerintahan otoriter Orde Baru.
Dia mencontohkan, berdasarkan penyelidikan pro-yustisia yang dilakukan Komisi Nasional HAM, ditetapkan terdapat sembilan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di bawah kepemimpinan Soeharto. Misalnya pada peristiwa 1965-1966.
“Lalu, sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Soeharto bertanggung jawab dalam peristiwa yang menyebabkan ribuan orang menjadi korban pembunuhan, penangkapan, penahanan massa, dan pembuangan ke Pulau Buru,” kata Dimas pada Senin, 10 November 2025.
Selanjutnya, kata dia, dalam peristiwa penembakan misterius di 1981-1985. Kebijakan Soeharto atas persoalan ini juga dipertegas dalam pidato rutin kenegaraan pada Agustus 1981 yang menyatakan pelaku kriminal harus dihukum dengan cara yang sama saat ia memperlakukan korbannya.
Dalam peristiwa itu, Amnesty Internasional mencatat jumlah korban jiwa akibat kebijakan Soeharto mencapai kurang lebih 5.000 orang yang tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bandung, Jawa Barat.
“Lalu pada peritiswa Tanjung Priok 1984. Peristiwa ini erat kaitannya dengan kebijakan represif yang diterapkan rezim Orde Baru Soeharto,” ujar Dimas.
Kebijakan represif Soeharto, dia melanjutkan, juga terjadi di Talangsari, Lampung pada 1989. Laporan tim adhoc penyelidikan pelanggaran HAM berat Talangsari mencatat, akibat kebijakan itu 130 orang meninggal dunia, 77 mengalami pengusiran secara paksa, 53 orang terampas kemerdekaannya, 45 orang mengalami penyiksaan, dan 229 orang mengalami penganiayaan.
Laporan tim pengkajian pelanggaran HAM Soeharto juga mencatatkan kebijakan represif lainnya yang melibatkan Soeharto, yaitu pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada 1989-1998.
Dimas menuturkan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh menemukan terjadinya 1.792 tindakan kekerasan berupa penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, kekerasan seksual, pembunuhan, penghilangan paksa, perampasan, dan perusakan harta benda selama kebijakan ini diterapkan.
“Operasi militer ini telah melahirkan penderitaan yang berkepanjangan bagi masyarakat Aceh, khususnya perempuan dan anak-anak,” ucap Dimas.
Menurut Kontras, rekam jejak kelam Soeharto dalam kasus pelanggaran HAM berat juga tak berhenti sampai di sini. Peristiwa Rumah Geudong, Pos Sattis, peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, kerusuhan Mei 1998, hingga pembunuhan dukun santet juga erat kaitannya dengan pemerintahan Soeharto.
“Selain kasus itu, di pemerintahan Soeharto juga terjadi pembunuhan terhadap aktivis buruh Marsinah pada 1993, pembunuhan wartawan Fuad Muhammad Syafruddin pada 1996, penembakan warga di pembangunan Waduk Nipah Madura pada 1993, penyerangan kantor DPP PDI, pembreidelan media massa, hingga penerbitan larangan berorganisasi dengan penetapan normalisasi kehidupan kampus,” katanya.
Terpisah, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menuturkan rekam jejak kelam Soeharto selama 32 tahun berkuasa. Ia menegaskan, pemberian gelar pahlawan nasional kepada “Si Jenderal Tersenyum” mengangkangi hukum dan HAM.
Dia menjelaskan, setidaknya terdapat empat peraturan dan putusan Mahkamah Agung yang dilanggar dalam upaya pemberian gelar pahlawan nasional bagi mantan Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat tersebut.
Pertama, Isnur mengatakan, Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 yang mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat di berbagai peristiwa dan menyebabkan terjadinya genosida. Soeharto, kata dia, bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut, misal pada peristiwa 1965-1966.
Lalu, dia melanjutkan, peristiwa penembakan misterius 1982-1985; peristiwa Talangsari, Lampung 1989; peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989; peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998; kerusuhan Mei 1998; dan tragedi Trisakti serta Semanggi 1998.
Isnur mengatakan, Ketetapan atau TAP MPR X 1998 juga menyebutkan selama 32 tahun berkuasa, Soeharto dengan rezim Orde Barunya telah melakukan penyimpangan seperti penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
“Lalu TAP MPR XI 1998 yang menyebutkan Soeharto dan pemerintahannya adalah pemerintahan yang penuh dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme,” ujar Isnur.
Pun, kata dia, putusan Mahkamah Agung Nomor 140 PK/Pdt/2015 menyatakan Yayasan Supersemar Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar uang sebesar US$ 315.002.183 atau sebesar Rp 4,4 triliun berdasarkan kurs saat itu kepada pemerintah.
Isnur menambahkan, pemberian gelar palhawan bagi Soeharto kian menunjukkan rezim Prabowo Subianto sebagai pemerintahan yang mengkhianati konstitusi, dan menyakiti rakyat dengan melakukan tindakan tercela.
Dia mengatakan, selama berkuasa Soeharto juga terbukti melakukan praktik KKN. Hal ini diperkuat dengan laporan Stolen Asset Recovery Initiative dari UNODC dan Bank Dunia pada 2007 yang menempatkan Soeharto sebagai pemimpin paling korup di abad ke-20. “YLBHI mengecam keras pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto,” katanya.
Adapun Soeharto resmi menyandang gelar sebagai pahlawan nasional sebagaimana Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan editor: Linimasa Rencana Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto




