PERHIMPUNAN Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mengecam gugatan Menteri Pertanian Amran Sulaiman terhadap Tempo yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Organisasi itu menilai langkah Amran mencederai prinsip kebebasan pers sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Sekretaris Jenderal PPMI, Ach Zainuddin, mengatakan gugatan itu sebagai pembungkaman terhadap kerja jurnalistik. Ia mengungkapkan, sengketa pemberitaan semestinya diselesaikan melalui mekanisme dalam Undang-Undang Pers, yakni hak jawab, hak koreksi, atau mediasi melalui Dewan Pers.
“Gugatan ke pengadilan tersebut telah mencederai kebebasan pers,” ujar Zainuddin pada dikutip Ahad, 9 November 2025.
Zainuddin menyebut langkah membawa sengketa pers ke ranah perdata membuka preseden buruk bagi kebebasan media. Ia memperingatkan jika gugatan ini berlanjut, media lain dapat menghadapi risiko serupa saat melakukan peliputan kritis terhadap kebijakan pemerintah. PPMI meminta pengadilan menghentikan proses gugatan. “Kasus ini sudah ditangani oleh Dewan Pers,” kata dia.
Sengketa antara Amran dan Tempo bermula dari cover laporan berjudul “Poles-Poles Beras Busuk” yang terbit pada 16 Mei 2025. Berita itu menyoroti penyerapan gabah Bulog lewat kebijakan any quality seharga Rp 6.500 per kilogram, yang membuat sebagian petani merusak gabah agar lebih berat. Amran sebelumnya mengakui kerusakan gabah itu dalam artikel terkait stok beras nasional.
Perkara ini telah diselesaikan di Dewan Pers melalui PPR Nomor 3/PPR-DP/VI/2025 dan menyatakan berita Tempo melanggar Pasal 1 dan 3 Kode Etik Jurnalistik. Dewan Pers merekomendasikan perubahan judul poster, permintaan maaf, moderasi konten, serta pelaporan pelaksanaan, dan seluruhnya dipenuhi Tempo dalam 2×24 jam.
Meski begitu, Amran tetap menggugat Tempo secara perdata ke PN Jakarta Selatan dengan nomor 684/Pdt.G/2025/PN JKT SEL. Ia menilai masih ada perbuatan melawan hukum yang merugikan Kementerian Pertanian. Koalisi masyarakat sipil menilai langkah ini sebagai bentuk pembredelan pers dan tindakan antikritik.






