SENIMAN Butet Kartaredjasa meniru suara Presiden Soeharto sebagai protes terhadap pengusulan gelar pahlawan nasional penguasa 32 tahun Orde Baru itu.
Parodi Butet muncul dalam video berdurasi satu menit lima detik yang menggunakan teknologi kecerdasan buatan atau AI. Video itu memperdengarkan suara Butet yang mirip dengan presiden yang punya julukan The Smiling General. Butet menyindir Menteri Kebudayaan Fadli Zon dengan suara Soeharto dan gestur yang persis. Dia mengirimkan rekaman suaranya pada Rabu, 5 November 2025 dan video itu telah beredar luas di media sosial.
Petikan video tersebut berbunyi: “Saya menghimbau supaya daripada menteri kebudayaan dan daripada presiden ndak usah neko-neko menjadikan daripada saya sebagai pahlawan nasional. Saya sudah ikhlas dengan status saya sebagai terdakwa korupsi, nepotisme, dan pelaku kejahatan kemanusiaan.”
Butet menjelaskan video itu menggunakan rekaman suaranya yang dia kirim kepada seorang ahli AI di Jakarta. Butet selama ini jarang merekam suara lewat video saat menirukan tokoh. Dia biasanya tampil langsung dalam pentas teater atau monolog bernada olok-olok. Guyonan Butet khas memasukkan kritik sosial politik. “Karena ada momentum hiruk pikuk pencalonan Soeharto. Itu cara saya protes,” kata Butet dihubungi Tempo, Ahad, 9 November 2025.
Parodi itu menurut Butet mempertahankan gaya guyon parikeno atau candaan khas Mataram. Guyon parikeno ini ciri khas pentas Teater Gandrik yang Butet pimpin. Guyonan ini tujuannya membuat orang yang dikritik ikut tertawa.
Butet pertama kali tampil menirukan suara Soeharto dalam pentas Teater Gandrik dalam lakon Demit dan Upeti pada 1987 dan 1989 di Yogyakarta. Pada era Orba itu, Butet mengatakan seniman tak bebas mengkritik pemerintah dan sensor sangat kuat. Butet bercerita Teater Gandrik pernah mementaskan lakon Upeti Tahun 1989 di Gedung Kesenian Jakarta. Lakon bernada kritik sosial menggelitik itu menurut dia ditonton Menteri Sekretaris Negara Indonesia saat itu, Moerdiono.
Menurut Butet, di masa pemerintahan Soeharto yang anti demokrasi, seniman tidak bebas berpikir dan berekspresi sehingga Soeharto tak layak menjadi pahlawan. Selain itu, Soeharto juga membungkam jurnalis yang menulis secara kritis tentang kebijakan pemerintah yang merugikan publik.
Butet menilai pemberian gelar Soeharto bertentangan dengan Reformasi 1998. Soeharto melakukan kejahatan kemanusian karena terlibat dalam tragedi 1965 dan mempraktekkan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dia menyerukan agar seniman dan budayawan melakukan perlawanan meski pemerintah terlihat mengabaikan suara publik. “Seniman mesti punya daya kritis dan tidak bermental penjilat,” kata Butet.
Pilihan Editor: Mereka yang Gigih Menjadikan Soeharto Pahlawan Nasional






