InhuPost, JAKARTA – Kebijakan Home Market Obligation (DMO) dan Home Imprint Obligation (DPO) sebaiknya dihapuskan karena menimbulkan risiko ketidakpastian dan menciptakan inefisiensi dalam perdagangan minyak sawit.
Selama lebih dari 6 bulan diterapkan, kebijakan non tariff barrier ini justru membatasi volume ekspor yang berimbas pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Hal itu disampaikan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Eugenia Mardanugraha dalam Webinar Discussion board Jurnalis Sawit (FSJ) yang diadakan Jumat, 16 September 2022, kemarin.
BACA JUGA: Saatnya Generasi Muda Advokasi Kelapa Sawit Melalui Media Sosial
Sejak kebijakan DMO dan DPO diberlakukan, dampak yang paling dirasakan adalah permintaan tandan buah segar (TBS) turun dan petani sawit mengalami kesulitan menjual TBS.
Hal ini, kata Eugenia, karena pemerintah tidak mempunyai kajian yang mumpuni terkait kebijakan DMO dan DPO sebelum diberlakukan.
“Karena terbukti inefiensi, Sebaliknya kebijakan DMO dan DPO dihapus. Jika ini dilakukan, otomatis, harga TBS akan naik dengan sendirinya serta produktivitas dan kesejahteraan petani meningkat,” kata Eugenia yang juga Ketua Tim Peneliti LPEM UI.
BACA JUGA: Awalnya Dianggap Tak Waras, Kala Kembangkan Burung Hantu Di Kebun Sawit
Eugenia pun menyarankan pemerintah dapat menggunakan instrumen lain berupa pungutan ekspor dan bea keluar untuk mengendalikan volume ekspor CPO.
Hasil pungutan ekspor CPO seharusnya dapat digunakan untuk melakukan subsidi minyak goreng sawit sehingga harga terkendali.
Eugenia juga berpendapat, kebijakan DMO tidak menurunkan harga minyak goreng, namun menurunkan ekspor CPO yang pada akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi.
BACA JUGA: Mengendalikan Hama Tikus Di Perkebunan Kelapa Sawit Dengan Tyto Alba
Menurut Eugenia, kenaikan harga minyak goreng selama ini bukan disebabkan oleh ketersediaan CPO di dalam negeri, namun karena terjadinya kenaikan harga CPO di market internasional.
Naiknya migor juga dipengaruhi oleh kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang membuat produsen mengurangi suplai sehingga terjadi kelangkaan.
Dalam penelitian LPEM UI 2022, Eugenia mengungkapkan penghentian ekspor 28 April – 22 Mei 2022 telah menurunkan Product Home Bruto (PDB) pada Q2 2022 sebesar 3%.
BACA JUGA: Produksi TBS Sawit Dharma Satya NusRedaksi Pos Diprediksi Meningkat Lebih dari 10%
Pemerintah telah mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi triwulan II tahun 2022 adalah sebesar 5.45%. Apabila tidak ada penghentian ekspor, maka PDB triwulan II 2022 diperkirakan sebesar 3.009 triliun rupiah atau pertumbuhan ekonomi adalah 8.5%.
Pernyataan senada dikemukakan Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI), Tungkot Sipayung.
Menurut Tungkot, gonta-ganti kebijakan DMO dan DPO yang dilakukan pemerintah, berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi dan sulit dijalankan.
BACA JUGA: DPRD Riau Pelajari Peremajaan Sawit Rakyat Sumut
Disisi lain, bongkar pasang kebijakan DMO dan DPO terbukti menghambat dan mengurangi daya saing industri sawit karena berpijak di luar kebijakan yang sudah dibangun fondasinya sejak lama.
Tungkot menyarankan, agar pemerintah bertahan pada mekanisme yang telah teruji selama ini yakni kombinasi Redaksi Pos pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK). (T2)
Put up Views: 280
Dapatkan update berita seputar harga TBS, CPO dan industri kelapa sawit setiap hari dari InhuPost.com. Mari bergabung di Grup Telegram “InhuPost – News Change”, caranya klik hyperlink InhuPost-News Change, kemudian be a a part of. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Bisa juga IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS.