Ribuan warga ikuti tradisi Mubeng Beteng Keraton Yogyakarta

Ribuan warga ikuti tradisi Mubeng Beteng Keraton Yogyakarta

  • Jumat, 27 Juni 2025 02:19 WIB
  • waktu baca 3 menit
Ribuan warga ikuti tradisi Mubeng Beteng Keraton Yogyakarta
Ribuan warga mengikuti Lampah Budaya Mubeng Beteng atau berjalan mengelilingi Beteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Tahun Baru Jawa 1 Sura Dal 1959 dan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 Hijriah, Jumat (27/6/2025) dini hari. ANTARA/Luqman Hakim

Lampah Budaya Mubeng Beteng bukan merupakan hajat resmi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, melainkan kegiatan budaya spiritual ….

Yogyakarta (ANTARA) – Ribuan warga mengikuti Lampah Budaya Mubeng Beteng atau berjalan mengelilingi Beteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Tahun Baru Jawa 1 Sura Dal 1959 dan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 Hijriah, Jumat (27/6) dini hari.

Ribuan warga bersama para abdi dalem keraton berkumpul di sekitar Bangsal Ponconiti Keben Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sejak Kamis (26/6) pukul 21.00 WIB.

Tradisi itu diawali dengan pembacaan tembang macapat berisi doa dan pujian yang dipimpin oleh abdi dalem keraton K.M.T. Projosuwasono.

Sekitar pukul 00.00 WIB, seusai lonceng keraton berbunyi 12 kali, rombongan peserta mulai berjalan kaki mengelilingi Beteng Keraton atau Beteng Baluwarti sejauh kurang lebih 5 kilometer.

“Mubeng Beteng itu sebagai wujud laku prihatin. Diharapkan banyak berdoa, mensyukuri 1 tahun yang lalu, kemudian berdoa untuk tahun yang akan datang agar diberikan keselamatan,” ujar K.M.T. Projosuwasono.

Ia menegaskan bahwa Lampah Budaya Mubeng Beteng bukan merupakan hajat resmi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, melainkan kegiatan budaya spiritual yang diselenggarakan oleh para abdi dalem.

Selama perjalanan, peserta diminta menjaga suasana khidmat dengan tidak berbincang atau biasa disebut “tapa bisu”.

“Orang menyebut tapa bisu, itu boleh saja. Akan tetapi, sebetulnya bukan berarti bisu. Kita hanya tidak bercakap-cakap, tetapi berdoa dalam hati,” tutur Projosuwasono.

Rute Mubeng Beteng dimulai dari Keben Keraton menuju Jalan Retowijayan, Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, dan Jalan Wahid Hasyim, hingga tiba di Pojok Beteng Kulon.

Dari sana, peserta melanjutkan ke Jalan Mayjen M.T. Haryono, Pojok Beteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, melewati Alun-Alun Utara, dan kembali ke Keben Keraton.

Baca juga: Keraton Yogyakarta tiadakan Lampah Budaya Mubeng Beteng

Baca juga: Ribuan warga mengikuti ritual budaya Mubeng Beteng

Para abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat membacakan tembang macapat di Bangsal Pancaniti, Keben Keraton Yogyakarta, Kamis (25/6/2025) malam, sebelum pelaksanaan Lampah Budaya Mubeng Beteng. ANTARA/Luqman Hakim

Baca juga: “Mubeng Beteng” Perjuangkan Penetapan

Baca juga: Pernikahan Putri Sultan tanpa kirab “mubeng beteng”

Sebagian peserta mengikuti dengan bertelanjang kaki meskipun penggunaan alas kaki tetap diperbolehkan.

“Kami menyarankan tidak memakai sendal karena kalau terinjak dan jatuh bisa menyulitkan. Akan tetapi, kalau sepatu atau tanpa alas kaki, silakan,” ujar Projosuwasono.

Kepala Dinas Kebudayaan DIY Dian Lakshmi Pratiwi mengatakan bahwa Lampah Budaya Mubeng Beteng merupakan salah satu karya budaya yang telah diakui secara nasional.

“Prosesi adat ini ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari DIY oleh kementerian yang mengurusi kebudayaan sejak 2015,” ujarnya.

Pelaksanaan Mubeng Beteng, kata Dian, menjadi bagian dari upaya pelestarian adat istiadat dan tradisi DIY yang sarat nilai-nilai spiritual.

Ia mengemukakan bahwa tradisi ini memiliki nilai penting refleksi dan kontemplasi kehidupan manusia untuk selalu ingat dan bersyukur kepada Tuhan, serta menjadi bahan evaluasi perbaikan di tahun depannya.

“Sekaligus sebagai upaya memohon keselamatan dan keberkahan untuk kehidupan yang lebih sejahtera menyongsong tahun baru,” tutur Dian.

Salah satu peserta, Gabriel Maria Ana (25) mengaku baru kali pertama mengikuti lampah budaya itu lantaran ingin mengenal lebih dalam mengenai budaya leluhur.

“Ini baru pertama kali. Lebih pengin nguri-uri budaya Jawa karena saya juga orang Jawa. Pengin tahu budaya yang ada di Jawa ini seperti apa dan pengin lebih dekat aja sama Yogyakarta,” ujar warga Kabupaten Kulon Progo itu.

Sementara itu, Wahyu Widiardana (25), warga Magelang, Jawa Tengah, mengaku mengikuti tradisi tahunan itu untuk keperluan riset tugas akhir kuliahnya yang mengangkat tema budaya Yogyakarta.

“Kebetulan saya lagi tugas akhir kuliah, terus kebetulan juga mengangkat budaya Yogyakarta, jadi sekalian riset aja sih, biar tahu bagaimana rasanya, terus prosesnya juga bagaimana,” ucap Wahyu.

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Komentar

Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.

Berita Terkait

Rekomendasi lain

  • Related Posts

    OJK: Total aset perbankan syariah konsisten tumbuh positif

    English Terkini Terpopuler Top News Pilihan Editor Pemilu Otomotif Antara Foto Redaksi OJK: Total aset perbankan syariah konsisten tumbuh positif Jumat, 27 Juni 2025 11:22 WIB waktu baca 3 menit…

    Inzaghi bawa Al-Hilal ke 16 besar dampingi Real Madrid

    English Terkini Terpopuler Top News Pilihan Editor Pemilu Otomotif Antara Foto Redaksi Piala Dunia Antarklub Inzaghi bawa Al-Hilal ke 16 besar dampingi Real Madrid Jumat, 27 Juni 2025 11:21 WIB…

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *