KETUA Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia meminta kajian tentang opsi pemilihan kepala daerah atau Pilkada secara tidak langsung lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah segera diputuskan. Bahlil mendorong keputusan itu disepakati dalam Rapat Pimpinan Nasional atau Rapimnas I Golkar yang diselenggarakan pada 20-21 Desember 2025.
“Saya minta di Rapimnas ini juga segera membahas kalau bisa memang memutuskan, memutuskan saja,” kata Bahlil saat membuka agenda Rapimnas di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Jakarta, pada Sabtu, 20 Desember 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Bahlil mengakui bahwa usulan itu memicu perdebatan di antara pengurus Golkar. Tak semua sepakat, ada pula yang mengusulkan opsi lain untuk menekan pengeluaran pilkada. Proses kajian internal tentang pemilihan kepala daerah oleh DPRD diklaim memakan waktu satu tahun.
Namun, Bahlil menekankan bahwa sistem pemilihan kepala daerah lewat DPRD akan menghemat ongkos biaya yang dikeluarkan oleh pasangan calon. Ia pun menceritakan bahwa kekalahan paslon kepala daerah mendatangkan malapetaka.
“Menang saja sakitnya di sini, apalagi kalah. Cost politiknya sudah terlalu tinggi Bapak Ibu semua. Orang cerai gara-gara Pilkada. Di kampung saya, orang tidak mau tegur saya gara-gara Pilkada,” kata dia.
Kendati belum menjadi keputusan bulat, Bahlil meyakini bahwa opsi pemilihan pilkada oleh DPRD merupakan kecenderungan yang akan disepakati internal Golkar. Ia meyakini itu karena opsi tersebut dianggap sebagai upaya memperbaiki sistem politik dan tetap menjaga demokrasi.
“Demokratis itu tidak boleh kita terjemahkan bahwa seolah-olah lewat DPRD itu enggak demokratis,” tutur Menteri Energi dan Sumber Mineral tersebut.
Bahlil tak menjawab tegas apakah Golkar telah menerima perintah dari Presiden Prabowo Subianto untuk mendorong pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Ia menekankan bahwa gagasan ini lahir dari pemikiran-pemikiran politikus Golkar.
“Dan yang namanya ide dari Golkar tidak ada ide dari siapa-siapa. Jadi tolong jangan dihubungkan dengan yang lain. Golkar ini independen, otonom,” ujar Bahlil.
Sebelumnya diketahui Presiden Prabowo Subianto juga pernah mengungkap soal Pilkada dilakukan lewat DPRD saat hadir di perayaan ulang tahun Partai Golkar di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, pada Kamis, 12 Desember 2024. Ketika itu Prabowo mengeluhkan anggaran negara ataupun biaya politik pasangan calon yang dihabiskan dalam Pilkada langsung.
Koalisi Sipil untuk Kodifikasi Undang-Undang Pemilu menolak wacana untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi tidak langsung melalui DPRD. Mereka menyebut persoalan biaya politik tidak disebabkan oleh mekanisme pilkada langsung, melainkan oleh “biaya kampanye yang tidak terkendali—termasuk praktik politik uang seperti jual beli suara maupun jual beli kandidasi,” tulis koalisi.
Mereka menegaskan politik uang berlangsung masif di seluruh arena elektoral dan bahwa tingginya beban kandidasi bersumber dari mahar politik, survei elektabilitas, hingga belanja jaringan politik yang tidak transparan. Langkah menghapus pilkada langsung dinilai tidak konsisten dan berpotensi membuka kembali ruang transaksi gelap di parlemen daerah.
Koalisi mengingatkan upaya serupa pernah terjadi pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan dinilai sebagai kemunduran demokrasi karena mengurangi hak rakyat untuk menentukan pemimpinnya secara langsung. Mereka menilai pilkada langsung merupakan instrumen penting sirkulasi kepemimpinan nasional setelah reformasi.
Mereka meminta pemerintah dan DPR fokus memperbaiki tata kelola pemilu dengan memperkuat pengaturan dana kampanye, meningkatkan efektivitas penegakan hukum, memperbaiki sistem audit, mendorong transparansi pendanaan politik, dan mempercepat penerapan teknologi seperti e-recap. Mereka juga menuntut pemerintah menjalankan Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 mengenai pemilu serentak nasional dan daerah.
Koalisi mendorong pendanaan pilkada sepenuhnya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar tidak terjadi ketimpangan anggaran antardaerah, serta mengajak publik, akademisi, dan media untuk mengawal pilkada langsung sebagai instrumen kontrol rakyat terhadap kekuasaan lokal.
Koalisi terdiri dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas, Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Themis Indonesia, Migrant CARE, Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), dan Remotivi.






