BANJIR yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat memaksa banyak pasien dirujuk ke rumah sakit di wilayah yang tidak terdampak dengan sarana transportasi seadanya. Kondisi ini, menurut Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia (PDEI), mencerminkan rapuhnya sistem layanan kesehatan dalam situasi bencana, terutama ketika fasilitas kesehatan setempat lumpuh atau beroperasi terbatas.
Ketua PDEI Cabang Sumatera Utara, Rizky Adriansyah, mengatakan banjir telah merusak dan melumpuhkan banyak fasilitas kesehatan di daerah terdampak. Di Aceh, sebanyak 10 rumah sakit dan 65 puskesmas dilaporkan tidak dapat berfungsi optimal akibat kerusakan parah.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Dalam beberapa kasus, pasien terpaksa dirujuk ke rumah sakit yang tidak terdampak dengan alat transportasi ala kadar,” kata Rizky dalam catatan pengalamannya sebagai relawan medis Kamis, 18 Desember 2025.
Menurut Rizky, keterbatasan akses akibat wilayah terisolasi membuat proses rujukan menjadi sangat sulit. Jalan terputus, jembatan rusak, serta minimnya ambulans dan peralatan medis darurat memaksa tenaga kesehatan menggunakan sarana alternatif yang tidak memenuhi standar layanan kegawatdaruratan.
Situasi ini, kata dia, memperlihatkan bahwa sistem kesehatan publik belum sepenuhnya siap menghadapi bencana berskala besar. Kekurangan tenaga medis dan peralatan kesehatan di lokasi terdampak memperburuk kondisi pasien yang seharusnya mendapatkan penanganan cepat dan aman.
Selain persoalan rujukan, Rizky juga menyoroti lemahnya koordinasi lintas sektor dalam penanganan bencana kesehatan. Meski ada upaya pembentukan tim terpadu, implementasi di lapangan kerap tidak berjalan efektif. Di RSUD Aceh Tamiang, misalnya, banyaknya relawan medis yang datang justru menimbulkan persoalan pembagian tugas.
Ia menilai kebijakan transformasi kesehatan yang digagas Kementerian Kesehatan belum sepenuhnya mampu menjawab kebutuhan layanan dalam situasi darurat. Fokus kebijakan masih cenderung pada pemulihan fisik, sementara aspek kesiapsiagaan dan layanan kegawatdaruratan saat bencana belum menjadi prioritas utama.
Kondisi tersebut diperparah oleh minimnya perhatian pada dampak sosial dan kesehatan mental masyarakat terdampak. Padahal, bencana tidak hanya menimbulkan luka fisik, tetapi juga trauma psikologis yang dapat memperburuk kondisi kesehatan korban.
Rizky mendorong pemerintah memperkuat sistem rujukan darurat dalam kebijakan transformasi kesehatan, termasuk penyediaan transportasi medis yang layak, penguatan infrastruktur kesehatan tahan bencana, serta peningkatan koordinasi lintas sektor. “Tanpa perbaikan menyeluruh, pasien akan terus menjadi korban kedua dari bencana—bukan hanya karena alam, tetapi karena sistem yang belum siap,” ujarnya.





