AMAN Catat 135 Kasus Perampasan Wilayah Adat Sepanjang 2025

ALIANSI Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merekam peningkatan perampasan wilayah adat, kriminalisasi, dan kekerasan, di tengah minimnya pengakuan serta perlindungan negara terhadap hak-hak masyarakat adat. Data tersebut terekam dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2025.

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menilai negara belum menunjukkan keberpihakan terhadap masyarakat adat. “Sayangnya pemerintah masih menyangkal dengan apa yang terjadi, bahkan para ujung tombak penjaga hutan menjadi korban kriminalisasi,” kata Rukka dalam laporan tahunan AMAN, Jakarta, Jumat, 19 Desember 2025.

Sepanjang 2025, AMAN mencatat 135 kasus perampasan wilayah adat yang berdampak pada 109 komunitas masyarakat adat. Luas wilayah yang dirampas mencapai sekitar 3,8 juta hektare. Selain kehilangan ruang hidup, sedikitnya 162 orang dari komunitas masyarakat adat tercatat menjadi korban kriminalisasi dan kekerasan.

Deputi I Sekjen AMAN Eustobio Rero Renggi mengatakan sektor lahan yang dirampas dari 3,8 juta hektar itu terbanyak pada wilayah proyek perkebunan dan pertambangan. Selain kedua sektor itu, ada sektor proyek energi, pariwisata, infrastruktur, pertanian dan konsesi kehutanan,

“Sektor masyarakat adat dengan proyek perkebunan sebanyak 1,9 juta hektare dan proyek pertambangan sebanyak 1 juta hektare,” kata dia. 

AMAN juga menyoroti arah kebijakan pemerintahan yang dinilai berpotensi memperluas konflik di wilayah adat. Salah satu kebijakan yang disorot adalah Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan yang melibatkan aparat keamanan.

Kebijakan tersebut mengandung kecenderungan militerisasi dan menempatkan masyarakat adat sebagai objek pengendalian, sehingga berisiko memicu represi atas nama ketertiban dan pembangunan.

Konflik agraria di wilayah adat, menurut AMAN, dipicu cara pandang negara yang menganggap wilayah adat sebagai tanah negara. Dari sekitar 33,6 juta hektare wilayah adat yang telah dipetakan secara partisipatif oleh masyarakat adat, sekitar 26,2 juta hektare berada di dalam kawasan hutan, sementara 7,3 juta hektare lainnya beririsan dengan berbagai konsesi. 

Namun hingga kini, pengakuan negara masih terbatas, yakni sekitar 6,37 juta hektare yang diakui melalui produk hukum daerah dan sekitar 345 ribu hektare yang ditetapkan sebagai hutan adat.

Padahal dalam skala global, posisi masyarakat adat justru semakin diakui. Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa COP30 di Belém, Brasil, menempatkan masyarakat adat sebagai aktor penting dalam agenda iklim dunia. Pemerintah Indonesia juga kerap menyampaikan pengakuan serupa di berbagai forum internasional.

Berbagai proyek yang diklaim sebagai solusi iklim justru dinilai mengancam masyarakat adat. Proyek-proyek tersebut, menurut AMAN, kerap dijalankan tanpa persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan atau free, prior and informed consent (FPIC).

Sejumlah proyek yang menjadi perhatian seperti panas bumi di Poco Leok, Nusa Tenggara Timur, bioenergi di Merauke, Papua, pembangunan bendungan di Kalimantan Utara, serta Waduk Lambo di Nagekeo, NTT. 

Dalam COP30, pemerintah Indonesia juga menyampaikan target pengakuan 1,4 juta hektare hutan adat hingga 2029 sebagai bagian dari strategi mitigasi deforestasi. AMAN menyambut target tersebut, namun menilai angka itu masih jauh dari potensi yang ada. 

“Angka 1,4 juta hektare yang ditargetkan dicapai pada 2029 itu harus dimaknai sebagai angka dinamis, mengingat potensi hutan adat yang besar dan inisiatif kebijakan daerah yang terus menerus bertambah,” ujar Rukka.

Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat juga stagnan meski satu dekade masuk Program Legislasi Nasional, hingga akhir 2025 RUU tersebut belum juga disahkan DPR, meskipun kembali masuk Prolegnas 2026. Ketiadaan payung hukum nasional memperparah diskriminasi struktural dan membuka ruang perampasan wilayah adat secara berulang.

“DPR dan Pemerintah harus segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat,” kata Rukka. Ia menilai pengesahan RUU tersebut menjadi bukti kepatuhan negara terhadap konstitusi sekaligus jawaban atas tudingan pengabaian terhadap hak-hak tradisional masyarakat adat, terutama hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam.

AMAN menegaskan, tanpa payung hukum nasional, pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat akan terus berhenti pada tataran retorika. Catatan Akhir Tahun 2025, menurut AMAN, menunjukkan Masyarakat Adat terus bertahan di tengah krisis berlapis, sementara negara dinilai belum sepenuhnya hadir untuk memberikan pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak mereka.

  • Related Posts

    Jasad WNI Ponorogo Korban Kebakaran Apartemen Hong Kong Dipulangkan Bulan Ini

    Jakarta – Jenazah WNI asal Ponorogo, Dina Martiana, korban kebakaran apartemen Wang Fuk Court, Hong Kong, akan dipulangkan ke Indonesia bulan ini. Jenazah dipastikan dibawa ke Indonesia bulan ini. “BP2MI…

    PBHI Minta Prabowo Bubarkan Komisi Reformasi Polri: Kembali ke Jalur Legislasi

    Jakarta – Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) meminta agar Presiden Prabowo Subianto membubarkan Komisi Reformasi Polri. PBHI mempertanyakan kontribusi Komisi Reformasi Polri terhadap perbaikan sistemik dan struktural Polri.…

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *