INFO TEMPO – Transformasi sistem transportasi di Jakarta dalam dua dekade terakhir menjadi penanda perubahan besar dalam cara masyarakat bergerak dan beraktivitas di kota. Sejak kehadiran Bus Rapid Transit (BRT) TransJakarta pada 2004, Jakarta terus menambah pilihan moda transportasi publik, mulai dari MRT Jakarta, LRT Jakarta, hingga KRL, dan jaringan angkutan pengumpan MikroTrans Jaklingko.
Direktur Program Rujak Center for Urban Studies, Dian Tri Irawaty menilai perubahan tersebut sebagai sebuah revolusi transportasi yang secara nyata dirasakan masyarakat. Dia mengingat pengalamannya menggunakan berbagai moda dari masa ke masa. Mulai dari bus patas Mayasari Bakti, bus tingkat, hingga bemo yang kini tergantikan oleh sistem transportasi publik yang jauh lebih beragam dan terstruktur.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Masyarakat sekarang punya banyak pilihan dengan moda transportasi yang berbeda-beda, sehingga orang bisa mempertimbangkan mana yang paling cepat, terjangkau, dan terkoneksi,” katanya dalam Diskusi Peluncuran Buku Tematik Berbasis Riset Menyongsong 500 Tahun Jakarta di Hotel Millenium Jakarta, pada Kamis, 18 Desember 2025. Seri Buku Tematik Berbasis Riset Menyongsong 500 Tahun Jakarta ini terdiri atas delapan buku, yang salah satunya berjudul “Seribu Kaki Halte Kota”. Menurut Dian, kemajuan ini menunjukkan bahwa Jakarta berada di jalur yang tepat, meski pekerjaan rumah masih besar.
Direktur Program Rujak Center for Urban Studies Dian Tri Irawati saat diskusi “Peluncuran Buku Tematik Berbasis Riset, Menyongsong 500 Tahun Jakarta” di Hotel Millenium, Jakarta, pada Kamis, 18 Desember 2025. TEMPO/Lourentius EP
Yang penting, Dian melanjutkan, adalah keterhubungan antarmoda, terutama dalam menjawab kebutuhan first mile dan last mile. Dalam konteks ini, MikroTrans JakLingko memainkan peran strategis karena menjangkau hingga ke kawasan pinggiran.
“Kalau mau keliling Jakarta, enaknya naik Jaklingko. Masuk ke jalan-jalan kecil dan memberi nuansa tersendiri,” katanya. Dian bahkan menyebut pengalaman “me time naik JakLingko” sebagai refleksi bagaimana transportasi publik bisa menjadi bagian dari keseharian masyarakat, bukan sekadar alat berpindah.
Dian berharap kebijakan tarif yang terjangkau -bahkan gratis, bisa terus dipertahankan atau diperluas sebagai stimulus agar semakin banyak masyarakat beralih ke transportasi publik. Menurut dia, pengelolaan transportasi yang memadai dan inklusif menjadi kunci agar Jakarta berkembang lebih baik ke depan.
Kendati begitu, tantangan masih membayangi. Kemacetan tetap tinggi, kebijakan pembatasan kendaraan pribadi dinilai belum cukup ketat, dan integrasi antarmoda belum sepenuhnya mulus. Dian menilai Jakarta perlu belajar dari kota-kota global, seperti Singapura dan Tokyo, yang sukses membangun sistem transportasi publik terintegrasi melalui kombinasi infrastruktur, regulasi pembatasan kendaraan pribadi, serta pemanfaatan teknologi.
“Keberhasilan transportasi publik tidak hanya soal membangun jalur dan stasiun, tetapi juga soal kebijakan dan perubahan perilaku masyarakat,” ujarnya.
Dalam jangka panjang, Jakarta dituntut untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan dan memperluas jangkauan transportasi publik agar sejalan dengan pertumbuhan kota dan kebutuhan warganya.
Jika konsisten, transformasi mobilitas ini diyakini tidak hanya mengurangi kemacetan, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup dan menjadikan Jakarta kota yang lebih nyaman, efisien, dan berkelanjutan. (*)






