INFO TEMPO – Jakarta sebagai pusat cita rasa, bukanlah kota yang tumbuh dari satu dapur, melainkan dari ribuan dapur yang berpindah bersama gelombang migrasi, menjadi sebuah melting pot kuliner. Kekayaan gastronomi inilah yang menjadikan Jakarta dijuluki sebagai ‘Kota Seribu Rasa’, bahkan disebut sebagai surga makanan.
Buku berjudul ‘Jejak Lidah Jejak Selera’ hadir untuk memetakan kuliner Jakarta sebagai ‘rumah bagi setiap rasa’ dan pengalaman sosial kota yang didorong urbanisasi, media sosial, dan gaya hidup. “Buku ini sebetulnya lebih kepada Jakarta sebagai melting pot untuk kuliner masyarakat Indonesia, di mana tidak hanya menceritakan yang ada di Jakarta tetapi juga seiring dengan urbanisasi datang ke Jakarta, menjadi kuliner nusantara,” kata Peneliti Tempo, Ai Mulyani, dalam Peluncuran Buku Tematik Berbasis Riset Menyongsong 500 Tahun Jakarta, di Hotel Millenium Jakarta, pada Kamis, 18 Desember 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Survei Tempo 2025 menunjukkan sekitar 50 persen responden memaknai kuliner Jakarta sebagai keberagaman, yakni nusantara dan internasional. Karena itu, disusunnya buku ini sebagai upaya komprehensif untuk memetakan dan merayakan kekayaan tersebut melalui pendekatan urban gastronomi yang menitikberatkan pada hubungan makanan dengan komunitas perkotaan, sejarah, tata ruang, aksesibilitas, dan keberagaman. Apalagi, kuliner di Jakarta memegang peranan strategis.
Sektor ini paling besar kontribusinya terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) ekonomi kreatif Jakarta, dengan menyumbang 36,46 persen pada 2022. Lebih jauh lagi, kuliner adalah instrumen diplomasi budaya (gastrodiplomasi) dan alat yang kuat untuk memperkuat citra Jakarta menuju target menjadi global city.
Proses penulisan buku ini memakan waktu cukup lama. Awalnya, ide-ide utama dikumpulkan dan dirumuskan menjadi sejumlah policy brief oleh tim Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jakarta. Bahan ini kemudian diperkuat melalui riset dan penelitian mendalam yang dilakukan oleh tim Tempo.
Kedua fondasi bahan tersebut diperluas lagi dengan reportase dan wawancara langsung oleh para penulis buku. Perpaduan antara hasil penelitian yang kuat dan narasi lapangan itu menjadikan buku ini kokoh secara substansi sekaligus menarik untuk dibaca. Hal ini dicapai berkat penggunaan gaya literary journalism atau jurnalisme sastrawi dalam penulisannya.
Pemetaan 500 titik kuliner yang disajikan dalam buku ini didasarkan pada metodologi yang memadukan data digital (web scraping), survei publik, dan wawancara lapangan. Untuk memastikan ketahanan usaha, salah satu syarat utamanya adalah tempat kuliner tersebut telah beroperasi minimal selama lima tahun. Hasil kurasi ini menegaskan bahwa karakter kuliner Jakarta bertumpu pada inisiatif lokal dan daya tahan usaha mandiri.
Culinary Storyteller, Ade Putri Paramadita mengapresiasi buku ini karena dari puluhan ribu titik kuliner di Jakarta, berhasil mengkurasi 500 titik. “Ini sebuah pekerjaan yang berat, karena ketika diskusi beberapa bulan lalu, kita pun berpikir bagaimana cara memilihnya karena begitu banyak,” kata Ade.
Culinary Story teller Ade Putri Paramadita (kedua kiri) saat bedah buku Jejak Lidah Jejak Selera dalam Diskusi Buku Tematik Berbasis Riset, Menyongsong 500 Tahun Jakarta di Hotel Millenium, Jakarta, pada Kamis, 18 Desember 2025. TEMPO/Lourentius EP
Buku ini juga merefleksikan keberagaman berlapis yang ditemukan di Kota Jakarta. Lapisan pertama adalah ragam rasa. Tim menemukan dominasi kuliner Nusantara sebanyak 265 titik, yang mencerminkan Jakarta sebagai panggung rasa nasional. Ada pula kuliner Betawi tradisional yang berusaha bertahan di tengah modernisasi, hingga hadirnya cita rasa kosmopolitan dari Asia dan internasional yang berpadu dengan selera lokal.
Peta ini mencakup seluruh spektrum sosial-ekonomi. Dari fine dining di kawasan elite seperti SCBD dan Senopati, restoran legendaris yang menghadirkan nostalgia di Jakarta Pusat, hingga street food atau rumah makan rakyat yang mendominasi lanskap kuliner dengan 230 titik menjadi tulang punggung ekonomi mikro perkotaan. Kawasan kaki lima seperti Pecenongan, Sabang, serta Bendungan Hilir bahkan diakui sebagai ruang sosial dan ekonomi yang menjaga inklusivitas kota.
Ada juga pemetaan berdasarkan karakter wilayah. Buku ini membagi Jakarta menjadi kluster-kluster rasa yang unik. Jakarta Pusat dengan jejak kolonial dan kuliner legendaris, Jakarta Selatan sebagai laboratorium tren dan gaya hidup urban, Jakarta Barat dengan warisan Tionghoa dan perpaduan lintas etnis, serta Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu dengan aroma pesisir dan kuliner bahari.
Penyusunan peta ini agar Jakarta tidak hanya dipahami melalui rasa, namun juga struktur sosial dan ruang yang membentuknya. Narasi tentang kuliner kota -baik kisah sayur babanci sebagai simbol percampuran budaya Betawi maupun mi yang disebut pakar kuliner William Wongso sebagai masakan yang paling pas mewakili Jakarta karena varian terbanyak di dunia ada di kota ini, memberikan konteks, sejarah, dan makna budaya di balik hidangan.
Melalui penjelajahan kuliner ini, diharapkan para pembaca dapat melihat bahwa kuliner Jakarta adalah cerminan kompleksitas sejarah dan budaya, yang membutuhkan sinergi komprehensif untuk dikembangkan. Dengan mencicipi setiap hidangan, Anda tidak sekadar memanjakan perut, tetapi turut merayakan keberagaman yang menjadi jati diri kota ini. Selamat menjelajahi simfoni rasa di Kota Jakarta. (*)






