SITUASI kebencanaan di sejumlah wilayah kembali menyoroti tingginya risiko kekerasan seksual terhadap perempuan di lokasi pengungsian. Kelompok perempuan, anak-anak, dan lansia dinilai paling rentan dalam kondisi darurat, sementara risiko non-fisik seperti kekerasan seksual kerap luput dari prioritas penanganan bencana.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Akademisi pemerhati gender dari Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Ratna Noviani, mengatakan respons pemerintah dan relawan selama ini masih berfokus pada pemulihan fisik, mulai dari distribusi logistik, evakuasi, hingga perbaikan infrastruktur.
“Kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan selama situasi bencana merupakan bukti nyata bahwa risiko non-fisik masih sangat mudah luput dari perhatian,” kata Ratna, dikutip dari keterangan resmi, Ahad, 14 Desember 2025.
Menurut Ratna, minimnya perspektif gender dalam kebijakan penanggulangan bencana menjadi tantangan utama dalam melindungi perempuan di lokasi pengungsian. Aparat dan relawan, kata dia, sering kali memandang pemenuhan kebutuhan dasar sebagai prioritas tunggal, sehingga isu kekerasan seksual dianggap bukan kebutuhan mendesak. Padahal, dalam situasi darurat, kerentanan justru meningkat.
“Respons bencana harus lebih sensitif gender karena perempuan menghadapi beban berlapis, baik akibat struktur sosial patriarkis maupun kondisi ruang pengungsian yang tidak aman,” ujarnya.
Ratna menekankan pentingnya mekanisme respons bencana yang sejak awal memasukkan analisis gender. Bahkan dalam kondisi darurat, pengelolaan pengungsian perlu mempertimbangkan aspek keamanan berbasis gender, seperti penyediaan sanitasi terpisah, penataan ruang tidur yang aman, serta area yang menjaga privasi perempuan.
Selain itu, layanan pelaporan dan pendampingan bagi korban kekerasan seksual perlu disiapkan sebagai bagian dari kesiapsiagaan bencana. Ia menyebut sejumlah langkah yang seharusnya menjadi standar, antara lain penempatan petugas perempuan di titik-titik pengungsian, penerangan yang memadai, pelatihan relawan tentang kekerasan berbasis gender, serta penguatan kerja sama dengan lembaga layanan korban. “Penguatan mekanisme pelaporan, edukasi komunitas, dan koordinasi lintas lembaga penting untuk memutus potensi kekerasan sejak awal,” kata Ratna.
Ia berharap perlindungan perempuan tidak lagi dipandang sebagai elemen tambahan dalam manajemen bencana, melainkan menjadi komponen utama dalam setiap fase penanggulangan. “Kita memerlukan sistem yang mengakui kerentanan berbasis gender sehingga keselamatan dan martabat perempuan selalu menjadi prioritas, agar kekerasan seksual dalam situasi kebencanaan dapat dicegah dan tidak terus berulang,” ujarnya.






