SEJARAWAN Asvi Warman Adam mengajak sivitas akademika perguruan tinggi berpikir dan bertindak kritis dalam merawat demokrasi dan hak asasi manusia. Asvi menekankan kampus secara historis berperan penting dalam pergantian rezim.
Pernyataan Asvi muncul dalam orasi kebudayaan Krisis Memori Kolektif Pelanggaran HAM Berat Era Soeharto Sampai Kini (1965-2025) yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya dan Pusat Studi Agama dan Demokrasi Universitas Islam Indonesia pada 12 Desember 2025 di Auditorium Fakultas Kedokteran UII. Sejumlah aktivis dan jurnalis membubuhkan tanda tangan sebagai bentuk solidaritas terhadap korban pelanggaran HAM dalam acara tersebut.
Dia menyatakan kampus yang berani berpikir dan bertindak kritis meski jumlahnya sedikit tak perlu berkecil hati. Dia mencontohkan media yang berpengaruh dalam sejarah pergerakan di Sumatera Barat. “Nama media itu Jago-Jago. Dalam Bahasa Minang berarti ayo bangun,” kata Asvi.
Saat itu terjadi pemberontakan rakyat di Silungkang Tahun 1927. Pemberontakan Silungkang merupakan perlawanan bersenjata yang dipimpin oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Sarekat Rakyat (SR) terhadap pemerintah kolonial Belanda di Silungkang, dekat Sawahlunto, Sumatera Barat.
Pemberontakan itu merupakan bentuk protes terhadap eksploitasi dan ketidakadilan Belanda. Dampaknya mengakibatkan penangkapan massal dan pengasingan orang-orang yang anti-kolonial.
Anggota Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia atau AKSI itu menyoroti penetapan Presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional. Menurut Asvi pahlawan nasional sebaiknya bukan sosok yang masih menimbulkan kontroversi atau pro dan kontra besar. Penetapan itu menurut dia bertentangan dengan gerakan antikorupsi yang dibawa pemerintahan Prabowo Subianto. ‘Pahlawan nasional ke depan idealnya sejalan dengan komitmen tersebut,” kata Asvi.
Asvi menyatakan telah menyampaikan pendapatnya jauh hari sebelum penetapan Soeharto sebagi pahlawan nasional dalam forum Komite Nasional Pemuda Indonesia Surakarta pada 9 Juli 2009 di hotel Lor In Karanganyar. Soeharto menurut dia merupakan pembangun infrastruktur sekaligus perusak lingkungan dan pelanggar HAM berat.
Ia mengatakan ada sejumlah tokoh yang diusulkan karena sikap anti-korupsi. Nama tokoh itu yakni Jenderal polisi Hugeng dan Jaksa Agung 1950-1959, Soeprapto. Hugeng saat bertugas di Medan menolak furniture mewah yang disediakan pengusaha di rumah dinasnya. Adapun, Soeprapto menolak gelang emas pemberian seorang saudagar kepada putrinya. Jaksa Agung Soeprapto merupakan orang yang menyeret sejumlah menteri ke pengadilan karena tersangkut kasus korupsi.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya sekaligus ketua Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) mengatakan perguruan tinggi punya mandat moral dan historis memproduksi pengetahuan, kritik, dan menjaga kesadaran publik. Kampus bukan hanya berperan sebagai institusi pendidikan, melainkan aktor kultural yang berperan dalam merawat memori kolektif bangsa. “Indonesia menghadapi krisis memori kolektif tentang pelanggaran HAM,” kata Masduki.
Menurut dia, salah satu indikator krisis tersebut adalah penetapan Presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional. Kebijakan itu menuai kontroversi karena tanpa proses rekonsiliasi sejarah yang memadai. Selain itu tak ada penyelesaian hukum terhadap pelanggaran HAM yang berlangsung selama 32 saat Soeharto berkuasa.
Dia prihatin karena penetapan itu tidak mendapatkan perlawanan yang kuat dan sistematis dari perguruan tinggi. Padahal, kampus, kata dia seharusnya berdiri di garda depan dalam membela kebenaran sejarah, menyampaikan kritik berbasis riset, dan mengedukasi publik.
Diamnya sebagian besar institusi akademik, kata Masduki menunjukkan terjadinya penjinakan intelektual serta melemahnya fungsi kritis pendidikan tinggi. Padahal, Soeharto terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM, di antaranya pembantaian pasca-1965, penembakan misterius atau Petrus, peristiwa Tanjung Priok 1984, peristiwa Talangsari 1989, dan berbagai operasi militer.
Masduki juga menyebutkan pelanggaran HAM yang belum diusut negara telah diakui dalam berbagai laporan investigasi resmi dan rekomendasi lembaga negara, termasuk di tingkat internasional.
Penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional bukan sekadar persoalan administratif, melainkan bentuk penghapusan sejarah. Pada era Presiden Joko Widodo, terdapat harapan besar atas penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dan penguatan demokrasi. Namun, realitas menunjukkan banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum tuntas.
Masduki juga menyoroti kekerasan di Papua yang terus berlanjut, pembatasan ruang sipil, pendekatan militeristik, kriminalisasi aktivis, jurnalis, dan akademisi melalui berbagai pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Situasi itu menurut dia memperlihatkan bahwa krisis HAM bukan hanya warisan sejarah, tetapi masalah struktural yang berlanjut hingga kini. “Perguruan tinggi belum tampil cukup kuat sebagai kekuatan resistensi intelektual.”






