INFO NASIONAL – Masalah “biaya gelap” dalam kebutuhan syuting di Jakarta hanya satu gejala dari ekosistem produksi yang belum tertata. Para pelaku industri meminta pemerintah daerah menata ulang regulasi, memangkas alur izin, dan membuka kanal aduan lintas instansi.
Sineas Hanung Bramantyo menilai Jakarta belum dibangun sebagai kota ramah produksi. Berbeda dengan Los Angeles yang mendukung aktivitas syuting sebagai kesadaran bersama.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Di Jakarta, situasinya berbanding terbalik. “Saya ngeblok jalan di Jalan Jaksa, saya diamuk,” ucap Hanung pada Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) Jakarta Kota Sinema yang digelar Tempo Media Group dan Pemprov Jakarta pada hari keenam, Senin, 8 Desember 2025.
Menurut Hanung, upaya memaksakan Jakarta sebagai kota sinema akan menempatkan pekerja film berhadapan langsung dengan warga. Kota ini dibangun tanpa pertimbangan kebutuhan produksi film: polusi suara, klakson dan knalpot bising, pengeras suara rumah ibadah, suara proyek, pedagang asongan, musik hajatan, hingga kebisingan warga menyaksikan syuting.
“Saya pernah syuting sama Dian Sastro… semua satu kampung pada ngeliatin, foto-foto,” ucapnya. Kondisi itu membuat syuting mudah terganggu. Mobilitas kru dan pemain pun sulit karena kemacetan Jakarta, angkutan umum terbatas, parkir sempit, dan perda ganjil-genap yang menyulitkan produksi.
Pandangan Hanung tersebut menjadi titik masuk bagi rekomendasi lebih luas dari para produser dan pakar. Produser dan anggota Badan Perfilman Indonesia, Vivian Idris, menilai Jakarta membutuhkan langkah struktural: membangun Jakarta Film District sebagai pusat produksi terpadu dan membentuk Film Logistics Coordination Unit untuk mengurai keruwetan perizinan.
Ia juga menilai pentingnya keberadaan Film Safety Protocol Unit agar standar keamanan, manajemen kerumunan, dan mitigasi risiko mengikuti praktik internasional—sesuatu yang kini sama sekali belum tersedia.
Produser Nia Kunto menyoroti bahwa produksi membutuhkan kepastian dan konsistensi aturan. Ia mendorong portal single submission sebagai pintu tunggal semua izin, termasuk pemakaian jalan, ruang publik, drone, hingga koordinasi kepolisian. Insentif seperti potongan biaya izin perlu diberikan bagi film yang menampilkan Jakarta sebagai lokasi.
Dari perspektif industri global, Sashya Subono mengingatkan bahwa kota sinema sejati harus mampu menyediakan studio berskala raksasa, fasilitas lengkap VFX–animasi–sound–color dalam satu kawasan, serta tax rebate yang kompetitif. Ia menegaskan perlunya perlindungan kekayaan intelektual, mulai dari keamanan data hingga antipembajakan, jika Jakarta ingin menarik proyek internasional.
(Dari kanan) AKBP Hasby Ristama bersama Dosen Film IKJ Arturo Guna Priatna dalam FGD yang digelar Tempo Media Group dan Pemprov Jakarta di Hotel A-One, Jakarta Pusat, pada Senin, 8 Desember 2025. TEMPO/Rega Wijaya
Adapun Dosen Film IKJ Arturo Guna Priatna mengingatkan agar Jakarta tidak terburu-buru mengejar pasar internasional. Menurutnya, syarat pertama kota sinema adalah kemampuan melayani sineas lokal dengan baik. “Jangan mimpi dulu melayani internasional. Pertanyaannya: Jakarta bisa nggak melayani orang film Jakarta sendiri?” ujarnya.
Tawaran dari Kepolisian
AKBP Hasby Ristama yang menjabat Koorspripim Polda Metro Jaya berharap bahwa FGD ini menghasilkan kerjasama. Menurutnya masalah tersulit adalah koordinasi. “Selama ini saya melihatnya adalah kita tuh kayak parsial satu-satu aja,” ucapnya.
Ia mengusulkan agar Pemprov Jakarta menyiapkan orang yang menjadi pengelola (PIC) ketika ada sineas luar negeri yang hendak produksi film di kota ini.
Hasby juga menyarankan agar memanfaatkan warga lokal. “Misalnya untuk urusan katering atau keamanan,” ucapnya. Jika hal ini dilakukan secara konsisten mereka akan tahu bahwa pihak rumah produksi memang membutuhkan tempat mereka.
Saran berikutnya, Pemprov sebaiknya membuat MoU dengan Polda Metro Jaya terkait keamanan, mulai dari persiapan, hari-H syuting, hingga pasca produksi. Untuk urusan dengan kru asing pun tinggal izin dari Mabes Polri. Jika sudah beres dengan Polda Metro Jaya, tinggal minta saran mereka.
Merespons kegundahan insan film, Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Wakil Ketua Bidang Pemerintahan, Fadhilannisa Apridini, menyatakan sedang menyusun regulasi.
Pemprov saat ini menyiapkan laman Filming in Jakarta yang memuat informasi lokasi syuting di Jakarta. “Untuk rate card kami tutup dulu. Karena memang saat ini masih dalam tahap trial and error,” ucapnya.
Desa berjanji akan melakukan koordinasi dengan pihak Polda Metro Jaya terkait izin perizinan dan keamanan. “Kami sangat membutuhkan dukungan mereka,” ucapnya.
Ia berharap saat Jakarta Film Commission terbentuk, semua urusan selesai pada satu pintu. “Perjuangannya mungkin untuk urusan ormas atau warga setempat yang merasa kegiatan syuting sebagai peluang (cari duit),” katanya. “Sebaiknya dipikirkan apa insentifnya jika ada syuting di sana.” (*)






