INFO NASIONAL – Di antara kepulan asap wajan besar, deru generator kecil, dan aroma sayur panas yang mengepul dari Dapur Umum Lapangan (Dumlap) Kementerian Sosial RI, seorang pria berdiri tegap. Seragam Tagana (Taruna Siaga Bencana) berwarna hijau tua melekat di tubuhnya, basah sebagian karena keringat.
Dia adalah Wirman Saputra, 16 tahun, yang bergabung sebagai Taruna Siaga Bencana Kementerian Sosial RI. Di dapur darurat itulah, di tengah aktivitas relawan yang menyiapkan ribuan porsi makanan Wirman menceritakan ulang kisah ketika galodo menerjang Kampung Sikumbang, Jorong Subarang Aia, Palembayan, Kabupaten Agam.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Dia bercerita sambil berdiri. Sesekali kedua tangannya menopang pinggang, kadang menunjuk ke arah bukit seolah peristiwa itu masih berada tepat di depan matanya. Tatapannya menembus jauh melewati tenda, melampaui halaman posko, menuju kampungnya yang berada hanya beberapa kilometer dari dapur umum ini.
Kampung yang kini rusak parah, penuh lumpur, dan meninggalkan jejak kelam peristiwa itu. Suara Wirman mantap, yakin, dan jernih. Tidak ada getar ketakutan ketika dia mengingat peristiwa besar itu, hanya ketegasan seorang penyelamat yang masih berada dalam mode siaga, seolah tubuhnya belum benar-benar keluar dari situasi darurat.
Dari caranya memandang, jelas bahwa ia tidak sekadar mengenang. Ia sedang memutar ulang setiap detik mencekam itu. “Semua terjadi begitu cepat. Suara itu macam pesawat mau landing.”
Hari itu, Kamis sore, 27 November 2025. Wirman baru pulang setelah dua hari bertugas di kecamatan lain untuk menangani banjir. Dia berniat hanya mengambil pakaian, lalu kembali turun membantu.
Namun istrinya, dengan wajah cemas dan suara tegas, menahannya sebentar. “Makan dulu. Udah dua hari tak pulang.” Wirman mengulang kalimat itu sambil tersenyum kecil. Senyum yang mengendap dari rasa syukur karena keputusan sederhana itu menyelamatkan nyawanya.
Namun, ketika ia baru saja meraih kunci motor untuk kembali bertugas, bumi seperti mengirim peringatan. “Tiba-tiba saya dengar suara bising, kuat sekali. Macam pesawat landing dari bukit.”
Tanah pun bergetar. Piring di rak berderak. Suara orang berteriak terdengar dari luar. Kampung Sikumbang yang jaraknya hanya 75 meter dari sungai, menjadi salah satu titik yang paling cepat merasakan getaran itu. Istrinya panik, hendak lari ke luar rumah.
Namun Wirman yang mengingat pelatihan Tagana menahan dengan penuh keyakinan. “Jangan keluar. Kita bertahan dulu. Yang besar datang sekali. Setelah itu baru bergerak.”
Dia kemudian menggambarkan momen itu dengan suara rendah namun tajam. “Air besar, tingginya lebih kurang 40 meter di belakang rumah. Cepat sekali.”
Rumah bergoyang. Hawa dingin bercampur lumpur masuk dari sela-sela kayu. Namun setelah suara terbesar lewat, Wirman tidak menunggu.
Dia keluar rumah melawan naluri dasar manusia untuk bertahan di tempat aman. Dari arah kolam, terdengar seseorang menggerak-gerakkan tangan, tenggelam setengah badan dalam lumpur dan air keruh.
Tanpa memikirkan risiko susulan, Wirman melompat ke arah korban. “Saya selamatkan. Tarik ke rumah.”
Dia memegang pergelangan tangan korban seolah masih merasakannya. Air hujan yang membasahi seragamnya saat ini seperti menyatu dengan cerita yang dia ulang.
Di dalam rumah, istrinya memandikan korban itu, mengusap wajahnya, menyingkirkan lumpur yang menutup hidung dan mulut. “Hidup lagi orangnya.”
Tidak lama, suara jeritan lain datang. Seorang nenek, sekitar 68 tahun, berdiri gemetaran, tubuhnya tanpa pakaian karena tersapu arus, wajahnya hampir tak terlihat tertutup lumpur pekat. “Kasihan kali. Saya langsung gendong.” Nenek itu diselamatkan.
Evakuasi Ketiga, seorang anak laki-laki 11 tahun yang nyaris tenggelam. “Anak kecil itu nadinya sudah lemah. Nafasnya susah.” Di bawah cabang kayu besar yang tersangkut, anak itu hampir tenggelam. “Saya gendong langsung. Bawa ke rumah.”
Anak itu hidup. Matanya yang tadi nyaris hilang di balik lumpur kini kembali tampak, berkat gerakan cepat Wirman. Suara berikutnya datang dari pematang sawah. Seorang korban berteriak, namun terlalu dalam terjebak lumpur. Wirman mencoba mengangkatnya, namun tak bisa.
Dia pun keluar masuk rumah, mengambil terpal lebar, merentangkannya di atas lumpur, menidurkan korban di atas terpal, dan menariknya menyusuri lumpur yang licin dan penuh batang kayu. “Tarik pelan-pelan, zig-zag. Kayu banyak sekali.”
Dalam waktu kurang dari satu jam, empat nyawa berhasil ia selamatkan. Kampung Sikumbang kini porak-poranda. Jalan terputus. Akses ke dalam desa hanya bisa lewat jembatan darurat dan itu pun jika air tidak sedang naik.
“Bantuan ada. Tapi banyak terhenti di luar. Ke dalam yang sulit. Kami maklum, akses semua putus,” ujarnya.
Warga kini banyak yang bergantung pada Dapur Umum Lapangan tempat Wirman berdiri bercerita. “Selama kami bisa nyeberang, kami keluar cari makan. Pagi, siang, malam. Untuk warga.”
Dia pun berpesan kepada sesama Tagana. “Ikhlas nomor satu. Jangan berharap apa-apa. Kepuasan menolong itu yang paling besar,” ucapnya.
Wirman bukan hanya penyintas. Bukan hanya relawan. Ia adalah denyut keberanian Kampung Sikumbang. Di dapur umum yang sibuk ini di mana suara sendok beradu dengan panci, aroma nasi panas bercampur dengan bau tanah basah, dan tenda putih bergoyang tertiup angin, Wirman berdiri tegap.
Tidak ada air mata. Tidak ada suara yang pecah. Tidak ada getaran ketakutan. Sorot mata yang memandang jauh, seolah masih memotret adegan demi adegan yang datang terlalu cepat hari itu: Gelombang air besar. Jeritan warga. Tubuh-tubuh berlumur lumpur. Empat nyawa yang kembali bernapas.
Ketika galodo mengoyak kampungnya, Wirman tidak hanya selamat. Tapi, dia menyelamatkan orang lain.
Di tengah hiruk-pikuk Dapur Umum Lapangan Kemensos RI, keberaniannya berdiri seperti tiang tenda yang tak goyah di tengah angin diam namun memikul beban yang sangat besar. (*)





