Asraf Taklukan Tantangan Mengajar di Sekolah Rakyat

INFO NASIONAL – Suasana kelas Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 26 Makassar saat mata pelajaran Bahasa Inggris lebih berisik dari biasanya. Bukan karena mereka sibuk bermain di dalam kelas, tapi ternyata ada tawar menawar class agreement antara sang guru Muhammad Asrafil Husein La Ede, 25 tahun, dan para siswa.

“Sir, jangan terlalu banyak tugas. Sir, di kelas harus banyak main game dan ice breaking. Sir, mau belajar di taman atau outing class,” kata Asraf menirukan antusiasme siswanya di kelas.

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

Perjanjian kelas tersebut berisi daftar kesepakatan antara guru dan murid selama kegiatan belajar mengajar. Skema ini diterapkan agar ada komitmen tegas di kelas untuk para siswa mematuhi hal-hal yang telah disepakati, salah satunya siswa tidak boleh datang terlambat.

Dalam kesepakatan antara guru dan siswa, Asraf melanjutkan, juga ada proses tawar menawar yang menyesuaikan dengan kebijakan sekolah. Ia juga mengimprovisasi desain belajar dengan praktik berbahasa Inggris hingga menonton film. “Pokoknya kalau pelajaran Bahasa Inggris, speaker dan proyektor wajib ada di kelas,” kata Asraf.

Supaya tak bosan, kegiatan belajar kelasnya dilakukan di area taman. Ia juga memberikan ruang untuk anak-anak memberikan masukan soal cara belajar agar lebih semangat belajar. “Kasih anak-anak itu kenyamanan. Gimana caranya supaya jangan ngantuk, supaya semangat belajar,” ujarnya.

Kesan pertama mengajar di Sekolah Rakyat, Asraf mengaku memang berbeda dari sekolah reguler. Sebagai guru yang pernah mengajar di SMP dan SMA reguler, perbedaannya terletak pada karakteristik para peserta didiknya.

Para guru sempat melakukan asesmen diagnostik baik kognitif dan non kognitif kepada para siswa. Hasilnya ada sejumlah siswa yang putus sekolah dan tinggal sekolah. “Bahkan ada satu siswa saya, SMA loh ini membaca itu masih sulit,” kata Asraf.

Setelah diusut, ternyata anak tersebut pernah berhenti sekolah beberapa tahun. Selama putus sekolah, anak tersebut sama sekali tak menempuh proses pembelajaran apapun. “Bahkan membaca pun masih terbata-bata, masih sekata dua kata,” ujarnya. 

Begitu pun dengan kemampuan menulis, dia mengatakan, anak tersebut juga belum lancar menulis. Maka, ketika tiap guru menulis materi pelajaran di papan tulis, anak tersebut menyalin tulisan ke bukunya per kata. 

Tak hanya itu, ada juga anak yang terlihat malas ikut kegiatan keasramaan, kabur-kaburan atau tidak sholat, ternyata di dalam kelas mereka malah pintar. Ada pula anak-anak yang jago mengaji sampai tahfiz. “Memang prosesnya agak cukup challenging,” ucap Asraf.

Berkat Sekolah Rakyat, anak-anak dari kelompok masyarakat miskin dan miskin ekstrem kini sudah bisa memulai kembali proses pembelajaran. Meski sejumlah siswa memang belum menunjukkan tanggung jawab pada diri sendiri, saat ini program dari guru, wali asrama, dan wali asuh juga ditekankan.

“Bagaimana tanggung jawab pada diri sendiri, bagaimana pada lingkungannya juga. Kalau urusan kognitif itu, kami dari arahan kepala sekolah kita menyesuaikan saja,” kata Asraf.

Dia memberi contoh pada pelajaran matematika, materinya padat. Tapi, ternyata ada anak-anak yang malah bisa berhitung penjumlahan dan pengurangan. Padahal, materi itu harusnya didapat saat jenjang SD.

“Di sini harus dari awal dulu. Bahasa Inggris juga demikian, menghitung 1-10 saja masih ada yang lupa-lupa, menghitung bulan dari Januari sampai Desember saja itu masih susah. Makanya perlahan,” ujar Asraf. 

Asraf bahkan memiliki metode ajar khusus seperti memulai pelajaran Bahasa Inggris tidak langsung ke materi grammar meskipun ia mengajar di tingkat SMA. Ia memulai dari vocabulary atau kata-kata yang digunakan sehari-hari.

Menurut Asraf, Sekolah Rakyat mengusung konsep setara. Saat ada anak yang titik mulainya tak sama dengan anak lainnya, maka para guru menerapkan empati. Para siswa diajak untuk membantu temannya yang kesulitan dalam proses pembelajaran. “Jadi tidak ada yang saling mengejar.”

Tak hanya soal materi pelajaran, tantangan lain yang dihadapi para guru terkait dengan latar belakang psikologi para siswa. Para guru pun dituntut beradaptasi dengan bersikap tegas, di sisi lain juga harus bersikap lembut.

“Karena anak-anak itu di sini lebih banyak butuh wadah untuk misalnya curhat kayak mereka punya masalah pribadi masing-masing, ada yang keluarganya mungkin gimana, ada yang lingkungannya mungkin gimana. Tantangannya sih di situ,” ujarnya. 

Persoalan kognitif siswa diakui Asraf, saat ini memang dinomorduakan. Saat ini, mereka fokus untuk menanamkan pondasi cara bersikap dan beradab, misalnya tidak boleh bicara kasar, memberi salam, dan senyum sapa salam menjadi hal wajib. “Kognitif itu menyusul, anak-anak juga bisa cepat menangkap pelajaran, kecuali mereka yang start zero,” ucapnya. (*)

  • Related Posts

    Korban Tewas Bencana Sumatera Capai 1.006 Orang, 217 Masih Hilang

    Jakarta – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan update korban meninggal dunia imbas bencana alam di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Hari ini, total korban mencapai 1.006 orang. “Hari…

    Koalisi Sipil Minta Prabowo Tetapkan Banjir Sumatera Sebagai Bencana Nasional

    KOALISI masyarakat sipil yang tergabung dalam Posko Nasional untuk Sumatera menilai pemerintah lamban menangani banjir Sumatera. Padahal, bencana yang menghantam tiga provinsi Sumatera, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat…

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *