Jakarta –
Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah (Pemotda) Jawa Barat menggelar NGO Summit 2025 sebagai forum koordinasi strategis antara pemerintah pusat, perangkat daerah, dan Non-Government Organization (NGO/ormas asing). Forum ini menjadi upaya memperkuat sinergi pembangunan sekaligus mengatasi tantangan di Jawa Barat.
Asisten Daerah Pemotda Jawa Barat, Faiz Rahman mengungkapkan bahwa keberadaan NGO dalam banyak kasus justru lebih militan menjangkau masyarakat dibandingkan perangkat pemerintah daerah sendiri. Sebab itu, Pemprov Jawa Barat menginisiasi forum ini untuk memperkuat kolaborasi.
“Kehadiran NGO dalam aspek pembangunan, baik di pusat dan daerah ini tidak bisa dianggap remeh. Bahkan kehadirannya ini lebih militan dibandingkan pemerintah daerah sendiri. Jadi kami dari Provinsi Jawa Barat, hari ini menginisiasi,” ungkapnya di gedung UID Learning Center, Jakarta Selatan, Kamis, (11/12/20250).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa forum ini merupakan bentuk fasilitas dari pemerintah untuk mewadahi supply dan demand. Di mana, pemerintah menyediakan data yang dibutuhkan NGO, sementara kabupaten/kota membawa data kebutuhan di daerah sehingga kedua pihak dapat saling menemukan kecocokan program.
“Makanya kita anggap (ini) marketplace. Supply and demand-nya kami fasilitasi di satu tempat, bapak-ibu dari NGO bawa produk apa, butuh data apa. Kemudian dari kabupaten kota, kan bawa data juga. Ini ketemulah kebutuhannya,” sambungnya.
“Jadi, hari ini semangatnya kita kolaborasi, kita gotong-royong, mudah-mudahan semua bisa berpartisipasi, dan embrio yang hari ini kita lakukan, ini bisa kita rutin ke depannya,” imbuh Faiz.
NGO Summit Menjadi Forum Sinergi Pemda dan NGO Dorong Program di Daerah Fiskal Rendah
Salah satu anggota Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Tasikmalaya, Rudi menjelaskan bahwa daerah-daerah selatan Jawa Barat seperti Tasikmalaya dengan kapasitas fiskal rendah yang memengaruhi rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di daerah tersebut membutuhkan kehadiran program NGO.
“Ketika daerah (Jawa Barat) Selatan dengan indeks desentralisasi fiskal yang rendah, IPM-nya juga di urutan terbawah-bawah itu, Tasikmalaya, Cianjur, gitu ya Pak. Kita di Tasikmalaya ini ketiga terbawah, dari bawah, dari 27 ya, posisinya di bawah. IPM yang rendah ini, tentu saja ketika akan masuk program-program dari NGO, ini sangat terbantu, ditambah dengan kondisi yang existing hari ini, kemandirian Fiskal yang rendah, TKD dikurangi, kami kehilangan Rp312 miliar,” paparnya.
Lebih lanjut, Rudi menekankan perlunya arahan tentang bagaimana menggandeng NGO di daerahnya. Dalam kesempatan ini, dia juga menyampaikan harapannya agar NGO bisa berkontribusi lebih nyata bagi masyarakat.
“Kami menunggu dari NGO-NGO, NGO-NGO untuk bisa berkontribusi lebih bermanfaat dirasakan oleh masyarakat kami. Kemiskinan di kami ini 10,32% Pak, jadi masih sangat luar terbuka. Ada isu-isu lingkungan di sana, isu-isu sosial dan lain sebagainya. (Tetapi) bagaimana caranya memulainya, dimulai dari mana-mana keawaman kami,” tanyanya.
Menanggapi hal ini, Anggota NGO Rikolto, Ratna menyampaikan bahwa koordinasi Kemendagri diperlukan untuk menentukan isu, data, dan dukungan yang bisa NGO berikan sambil menyesuaikan dengan periode pembiayaan yang tersedia.
“Bapak dari Tasikmalaya, Pak menarik sekali, memang kami setuju Pak dengan yang disampaikan bahwa memang harus ada koordinasi ke Kemendagri untuk mengusulkan mungkin isunya apa, kemudian data-datanya seperti apa, bagaimana yang bisa dibantu oleh kami, kemudian juga perlu dikoordinasikan ke depan,” ungkapnya.
Sementara itu, perwakilan dari NGO SNV, Nisa, menyambut baik respons dari pemerintah daerah yang ingin program NGO hadir di wilayahnya. Menurutnya, forum strategis ini membantu mempertemukan daerah dan ormas asing terkait kebutuhan dan prioritas mereka secara lebih terkoordinasi.
“Kami senang sekali ketika ada dari pemerintah daerah yang ingin bawa di daerahnya tuh ada program gitu, karena ketika kami, terutama saya, muter-muter Indonesia gitu ya, meneruskan perjanjian ini, dari pembuatan RKT satu Indonesia kami menemui banyak sekali Pemerintah Daerah yang responsnya berbeda-beda,” pungkasnya.
(akn/ega)






