KOTA SINEMA — Upaya Jakarta menjadikan industri film berbasis kekayaan intelektual (intellectual property/IP) sebagai lokomotif ekonomi kreatif dinilai belum menghasilkan dampak pengganda yang signifikan.
Para pelaku industri menyebut ekosistem komersialisasi IP masih rapuh—mulai dari model bisnis hingga minimnya dukungan struktural yang membuat film lokal sulit menembus lini merchandise maupun pariwisata kota.
General Manager Bumi Langit, Wim Berlinawan, menggambarkan panjangnya proses memonetisasi IP komik klasik seperti Gundala dan Si Buta dari Gua Hantu. “Kami melakukan banyak restorasi, scan, cetak, jual. Market-nya para penggemar komik klasik,” ujarnya dalam Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) Jakarta Kota Sinema, Rabu, 3 Desember 2025. Upaya itu kemudian diperluas ke film demi membuka “gerbang ekosistem” yang mencakup produk FnB, mainan, hingga pakaian.
Namun kemunculan IP tidak otomatis menciptakan dampak ekonomi. “Secara bisnis kita masih menuju ke arah sana karena tantangan di lapangan besar. Untuk menjangkau target audiens itu masih lumayan bakar duit,” kata Wim. Ia mencontohkan karakter klasik yang tidak dikenal generasi SMP–SMA saat ini, sehingga biaya promosi dan edukasi publik kerap membengkak.
Dewan Pengawas Komite Ekraf Jakarta, Mochtar Sarman menilai akar persoalannya terletak pada ekosistem yang lemah. Menurut dia, industri film Indonesia masih bermental “movie company” alih-alih “entertainment company”.
“Problem utama kita banyak filmmaker tidak memikirkan ekosistem,” ujarnya. Ia mencontohkan film Jumbo yang menembus 10 juta penonton, tetapi tak menghasilkan lini produk menonjol. “Pada waktu film meledak, baru dipikirkan mau buat apa ya? Sudah terlambat,” katanya.
Mochtar membandingkan dengan Disney, yang bahkan pada tahap naskah sudah membahas seluruh lini turunan—komik, wahana, mainan, hingga koreografi pertunjukan. “Itu yang kita tidak punya. Ekosistemnya harus difasilitasi pemerintah,” katanya.
Pandangan soal lemahnya fondasi kreatif juga disampaikan Ketua Umum Komite Ekraf Jakarta, Robby Wahyudi. Ia menilai fondasi IP Jakarta rapuh karena dua hal: riset dan infrastruktur.
Ia menyebut ketiadaan R&D Center membuat kreator tak punya waktu, akses arsip, dan ruang riset yang layak untuk membangun cerita. Infrastruktur produksi pun tak berjalan optimal—mulai dari render farm yang hanya beroperasi di jam kantor hingga fasilitas kreatif lintas dinas yang tak terhubung.
Robby menilai infrastruktur seharusnya dikelola profesional dengan orientasi keberlanjutan, bukan sekadar administrasi. Setelah itu, barulah kreator bisa masuk ke tahapan produksi hingga distribusi. Ia menegaskan, ekosistem baru bisa hidup bila riset, fasilitas, dan produksi terintegrasi sehingga promosi dan pasar konten berjalan efektif.
Staf Khusus Gubernur Jakarta Bidang Pemuda dan Olahraga, Diky Budi Ramadhan dalam Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) yang digelar Tempo Media Group dan Pemprov Jakarta di Hotel A-One, Jakarta Pusat, pada Rabu, 3 Desember 2025. TEMPO/Rega Wijaya
Staf Khusus Gubernur Jakarta Bidang Pemuda dan Olahraga, Diky Budi Ramadhan, menyoroti pentingnya Jakarta memberi ruang bagi kreator untuk melahirkan IP yang bisa menjadi “statement” tersendiri terhadap kota.
“Film Jumbo 10 juta penonton, sama dengan Avengers, tapi saya jarang lihat anak kecil pakai tas Jumbo,” ujarnya. Menurutnya, Jumbo berhasil sebagai sebuah film, tapi belum tentu berhasil sebagai sebuah karya yang bisa mewakili anak-anak lainnya. Diky menilai IP lokal belum menjadi simbol budaya pop Jakarta, berbeda dengan klub sepak bola yang kuat secara identitas.
Ia berharap Pemprov bisa menjadikan Jakarta “kiblat kreatif Indonesia”, namun mengakui satu hambatan besar: Jakarta belum memiliki karakter kreatif yang jelas. Karena itu, ia meminta langsung kepada para pelaku industri, apa yang sebenarnya dibutuhkan kreator dan apa yang harus disiapkan pemerintah.
Regulasi dan Pembiayaan IP
Jawaban konkret datang dari Dirjen Kekayaan Intelektual, Razilu. Ia mendorong pembentukan Jakarta Film Commission (JFC) sebagai lembaga satu pintu perizinan syuting sekaligus fasilitator pendaftaran IP film. “Fungsinya mempercepat proteksi dan mempermudah layanan,” katanya.
Razilu juga mengusulkan IP-Backed Financing, yakni skema pembiayaan yang menerima hak cipta atau merek sebagai agunan sah. Pemerintah pusat menyiapkan Rp 10 triliun untuk skema serupa pada 2025. Ia menyarankan agar Bank Jakarta ikut menerima IP sebagai jaminan modal produksi. “Surat pencatatan IP dapat dijadikan jaminan,” ucapnya.
Untuk mempercepat sertifikasi kekayaan intelektual yang biayanya sekitar Rp 200 ribu, Razilu meminta Pemprov bekerja sama dengan Kanwil Hukum Jakarta yang selama ini menangani ribuan UMKM tiap tahun.
Razilu juga mendorong lahirnya IP Market—pasar ide dan lisensi tahunan—serta insentif berupa tax rebate dan cash rebate bagi film berkualitas yang memanfaatkan aset KI. Edukasi hukum dan kontrak IP juga wajib diberikan bagi kreator penerima fasilitas pemerintah.
Para pembicara sepakat bahwa industri film berbasis IP di Jakarta belum menghasilkan efek pengganda yang kuat terhadap pariwisata maupun ekonomi kreatif. IP berhenti sebagai produk film, tidak berkembang menjadi ekosistem berkelanjutan.
Untuk memperbaikinya, mereka menekankan tiga langkah kunci. Pertama, membangun ekosistem, bukan hanya film—mulai dari integrasi kreator, PH, producer merchandise, hingga investor sejak tahap awal IP.
Kedua, memperkuat tata kelola dan pembiayaan, termasuk JFC, IP-Backed Financing, sertifikasi KI murah dan mudah, hingga kehadiran valuator profesional.
Ketiga, menciptakan identitas kreatif Jakarta dengan menyediakan ruang yang lebih luas bagi kreator agar IP lokal dapat menjadi simbol budaya pop kota, bukan sekadar hit box office.
Tanpa langkah-langkah tersebut, ambisi Jakarta sebagai kota sinema berpotensi stagnan sebagai slogan, bukan mesin ekonomi pengganda. (*)





