WAKIL Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia, mengatakan partainya masih mengkaji opsi pemilihan kepala daerah lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebelum disampaikan dalam pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu.
Anggota Komisi II DPR RI ini mengatakan masing-masing fraksi melakukan kajian, termasuk Golkar. Ia mengatakan Golkar telah membentuk tim kajian politik sejak satu setengah tahun lalu.
“Kita mengkaji semua tentang penyempurnaan sistem politik Indonesia, termasuk sistem Pemilu kita. Sistem Pemilu itu kan ada Pilpres, Pileg, dan Pilkada juga. Jadi bukan hanya pilkada aja,” kata Doli saat dihubungi Selasa, 9 Desember 2025.
Doli membenarkan Golkar memang memiliki opsi dalam kajian internalnya. Salah satunya mengembalikan pilkada ke DPRD, baik pemilihan gubernur maupun bupati atau wali kota. Namun, Doli mengatakan Golkar juga membuka alternatif lain, misalnya, Pilkada dilaksanakan secara asimetris atau hybrid.
“Ini yang sedang kita kaji mendalam terus. Sehingga nanti pada saat dimulainya pembahasan RUU, kita sudah punya bahan, punya rekomendasi di dalam pembahasan itu,” katanya.
Doli mengatakan semua dari pandangan masing-masing fraksi, termasuk Golkar, akan dituangkan dalam pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu, termasuk pilkada.
Wacana pilkada lewat DPRD dilontarkan kembali oleh Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia. Partai Golkar, kata Bahlil, telah mengkaji pemilihan kepala daerah untuk kontestasi mendatang. Bahlil mengatakan mulanya Partai Golkar mengusulkan agar pilkada dipilih melalui DPR.
“Terjadi pro dan kontra. Lalu kami kaji lagi, alangkah baiknya memang dipilih lewat DPRD kabupaten dan kota,” kata Bahlil saat berpidato di acara Puncak Hari Ulang Tahun ke-61 Partai Golkar di Istora Senayan, Jakarta, pada Jumat, 5 Desember 2025..
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ini mengatakan pembahasan itu memerlukan kajian yang mendalam. Bahlil mengatakan memerlukan kehati-hatian dan kecermatan dalam membahas rancangan undang-undang tersebut.
Dia mengatakan tak ingin nantinya undang-undang yang sudah disahkan oleh pemerintah dan legislatif, dianulir oleh konstitusi. “Sampai di Mahkamah Konstitusi malah diubah atau dibuat norma baru. Jangan sampai,” ucapnya.
Novali Panji Nugroho berkontribusi dalam penulisan artikel ini





