Penjelasan Mendagri soal Bupati Aceh Selatan Tak Bisa Dipecat Langsung

MENTERI Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan alasan pemerintah tidak memberhentikan secara permanen Bupati Aceh Selatan Mirwan MS meski ia bepergian ke luar negeri tanpa izin. Tito mengatakan aturan perundang-undangan tidak memungkinkan pemecatan langsung untuk jenis pelanggaran tersebut.

“Presiden bahkan meminta saya mempertimbangkan pencopotan. Tapi undang-undang jelas, sanksinya pemberhentian sementara tiga bulan, bukan pemberhentian tetap,” kata Tito dalam konferensi pers di Kemendagri, Jakarta, Selasa, 9 Desember 2025.

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

Tito mengutip Pasal 76 ayat 1 huruf i dan Pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Aturan itu mengatur bahwa kepala daerah yang bepergian ke luar negeri tanpa izin dikenai sanksi pemberhentian sementara. “Ini bukan suka-suka menteri. Dasar hukumnya sangat jelas,” ujar dia.

Mirwan telah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara selama tiga bulan. Selain itu, pemerintah akan memberikan pembinaan melalui program magang agar Mirwan memahami tanggung jawabnya sebagai pemimpin daerah, terutama saat bencana.

Tito menyayangkan Mirwan tetap pergi umrah meski izin ditolak Pemerintah Aceh. “Kalau umrah bisa ditunda. Ini situasi krisis,” kata dia. 

Menurut Tito, keputusan ini juga telah dikomunikasikan dengan partai pengusung Mirwan. Ia menyebut perwakilan Partai Gerindra bahkan meminta agar Mendagri menegakkan aturan tanpa kompromi. “Mereka bilang tidak perlu mempertimbangkan partai. Tegakkan saja,” ujarnya.

Keberangkatan Bupati Aceh Selatan untuk umrah menjadi polemik saat daerahnya dilanda bencana. Mirwan tercatat mengajukan permohonan izin perjalanan luar negeri dengan alasan penting melalui surat bernomor 093/1334/2025 tertanggal 24 November 2025 yang dikirim kepada Gubernur Aceh Muzakir Manaf. 

Namun, Pemerintah Aceh menolak memproses izin tersebut karena status darurat bencana masih berlaku di tingkat provinsi maupun kabupaten, sebagaimana tertuang dalam surat balasan bernomor 100.1.4.2/18413 pada 28 November 2025. Meski izin belum terbit, Mirwan tetap berangkat ke Tanah Suci. Sementara itu, penanganan banjir dan longsor di Aceh Selatan masih berlangsung.

Hari ini, Mirwan menyampaikan permintaan maaf atas tindakannya yang pergi keluar negeri tanpa izin ketika daerahnya sedang dilanda bencana banjir dan longsor. Dia mengakui tindakannya itu telah membuat keresahan dan kekecewaan publik.

‎Pernyataannya itu ia unggah dalam akun Instagram resminya @h.mirwan_ms_official. “Saya menyampaikan permohonan maaf, terutama pada Presiden Prabowo Subianto, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, serta seluruh lapisan masyarakat khususnya Aceh Selatan,” kata dia dalam keterangan video pada Selasa, 9 Desember 2025.

Untuk pemberhentian kepala daerah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah atau KPPOD Armand Suparman mengatakan ada prosedur khusus untuk memberi sanksi pemecatan kepada seorang kepala daerah yang melanggar aturan. Mekanisme pemecatan kepala daerah di Indonesia mengutamakan peran dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). “Prosedurnya itu harus melalui proses penyelidikan dulu di DPRD,” kata Armand saat dihubungi pada Senin, 8 Desember 2025.

Pemberhentian seorang kepala daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah atau UU Pemda. Dalam peraturan itu, ada tiga sebab kepala daerah atau wakilnya bisa berhenti menjabat, yaitu karena meninggal, permintaan sendiri atau diberhentikan.

Dalam hal pemberhentian, menurut Armand, DPRD memiliki wewenang pertama untuk menyelidiki pelanggaran oleh kepala daerah. Namun, pemerintah pusat bisa mengambil inisiatif penyelidikan jika DPRD setempat tidak bergerak. “Dalam kondisi demikian, pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri bisa langsung memproses,” ucap Armand.

Meski undang-undang mengatur DPRD memiliki inisiatif pertama dalam proses pemecatan, Armand berujar pemerintah pusat sebenarnya bisa bergerak kapan saja. “UU Pemda tidak mengatur durasi waktu menunggu inisiatif DPRD,” ujarnya.

Jika terbukti bersalah dalam penyelidikan oleh DPRD atau Kementerian Dalam Negeri, kasus pelanggaran oleh kepala daerah akan dilimpahkan ke Mahkamah Agung. Pemecatan sang kepala daerah itu akan diputuskan melalui proses persidangan sebelum disahkan oleh presiden.

  • Related Posts

    Banjir Bandang Sebabkan 1.975 Hektare Kebun-46 Sekolah di Nagan Raya Aceh Rusak

    Nagan Raya – Pemerintah Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh mulai mendata kerusakan imbas banjir bandang yang terjadi. Tercatat sekitar 36 hektare lahan sawah milik warga setempat rusak akibat bencana alam…

    Pria di Ketapang Bacok Kepala Istri Pakai Parang gegera Kesal Dimarahi

    Ketapang – Seorang pria berinisial PJ (53), warga Desa Sengkaharak, Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang membacok istrinya sendiri menggunakan parang. Pelaku saat ini sudah diamankan. “Setelah anggota Polsek Tumbang Titi menerima…

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *