KETUA Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Habiburokhman mengatakan laporan koalisi masyarakat sipil terhadap dirinya maupun anggota dewan lainnya ke Mahkamah Kehormatan DPR merupakan aduan yang mengada-ada. Ia membantah ada pencatutan nama lembaga masyarakat sipil dalam muatan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Kalau saya, ya, itu laporan yang mengada-ngada. Orang jelas kok, enggak ada pencatutan, apalagi memanipulasinya,” kata Habiburokhman di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Selasa, 18 November 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP baru saja melaporkan 11 anggota Komisi III DPR ke MKD. Mereka diduga melanggar kode etik dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang KUHAP.
Nama-nama anggota DPR yang dilaporkan ke MKD itu antara lain Habiburokhman; serta dua Wakil Ketua Komisi III yaitu Mohammad Rano Alfath dan Sari Yuliati. Kemudian anggota Komisi III seperti Safaruddin, Soedeson Tandra, Muhammad Rahul, Machfud Arifin, Hasbiallah Ilyas, Nasir Djamil, Endang Agustina, dan Hinca Ikara Putra Pandjaitan.
Koalisi menilai sejumlah muatan pasal yang diklaim oleh Komisi III DPR berasal dari usulan masyarakat sipil merupakan bentuk pembohongan publik. Sebab, koalisi masyarakat sipil tidak pernah mengusulkan muatan pasal seperti itu. Mereka menduga Komisi III mencatut nama lembaga masyarakat sipil untuk memenuhi prinsip partisipasi bermakna dalam pembahasan RUU KUHAP.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Muhammad Fadhil Alfathan mengatakan sebanyak 11 anggota Panitia Kerja RUU KUHAP dari unsur DPR yang dilaporkan ke MKD karena diduga melanggar kode etik sebagaimana diatur dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR.
Mereka juga diduga melanggar Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Dalam UU MD3, setiap anggota dewan berkewajiban melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945, menaati ketentuan peraturan perundang-undangan, dan menaati kode etik.
Fadhil menilai partisipasi publik secara bermakna merupakan hak konstitusional dan sekaligus diatur dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Habiburokhman membantahnya. Politikus Partai Gerindra ini mengklaim bahwa DPR sudah menyerap aspirasi rakyat selama pembahasan RUU KUHAP. “Kami justru mengakomodasi aspirasi mereka dan 100 persen, 99 persen mungkin, isi KUHAP baru ini adalah aspirasi dari masyarakat sipil,” kata dia.
DPR baru saja mengesahkan RUU KUHAP menjadi undang-undang, pada Selasa siang, 18 November 2025. Koalisi masyarakat sipil menilai pembahasan RUU KUHAP ini sangat terburu-buru dan dipaksakan agar bisa berjalan beriringan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional. KUHP yang disahkan dua tahun lalu itu akan mulai berlaku, pada Januari 2026,
Koalisi juga menilai proses revisi KUHAP tersebut tidak memenuhi tiga prinsip utama partisipasi bermakna, yaitu hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapat penjelasan.
“Sejak proses yang kami lalui dari setidaknya dari Mei kemarin sampai dengan November ini, kami menilai proses pembahasan RUU KUHAP ini tidak sesuai dengan prinsip partisipasi bermakna,” kata Fadhil, pada Senin, 17 November 2025.





