Aliansi Ciputat Tuntut Prabowo Cabut Gelar Pahlawan Soeharto dan Sarwo Edhie

ALIANSI Ciputat Melawan Impunitas (ACMI) menuntut Presiden Prabowo Subianto mencabut gelar pahlawan nasional Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo. Juru bicara ACMI Aji mengatakan aliansi meminta Prabowo membuat keputusan presiden (Keppres) baru untuk membatalkan pemberian gelar pahlawan nasional itu.

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

“Menuntut Presiden Prabowo Subianto mencabut gelar pahlawan nasional Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo melalui Keppres baru,” kata Aji dalam keterangan tertulis, Sabtu, 15 November 2025.

Kemarin, Jumat, 14 November 2025, ACMI yang terdiri dari mahasiswa, akademisi, aktivis HAM, dan masyarakat sipil berdemonstrasi di depan Istana Negara, Jakarta Pusat. ACMI menolak gelar pahlawan Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo Karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Pasal itu mensyaratkan penerima gelar memiliki integritas moral dan keteladanan, serta tidak pernah mengkhianati bangsa dan negara. 

Bagi ACMI, Soeharto dan Sarwo Edhie terbukti melakukan sejumlah pelanggaran termasuk pelanggaran HAM dan korupsi. Pelanggaran itu berdasarkan hasil penyelidikan tim ad hoc penyelidikan pelanggaran HAM berat peristiwa 1965–1966 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Final Report of the International People’s Tribunal (IPT) 1965, dan laporan gabungan International Center for Transitional Justice (ICTJ) dan KontraS “Derailed: Transitional Justice in Indonesia Since the Fall of Soeharto”.

Soeharto, kata Aji, terbukti bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat, termasuk pembunuhan massal, pemusnahan, penghilangan paksa, penyiksaan sistematis, dan represi politik dalam operasi militer pasca-1965. Pun terbukti melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang secara sistematis merusak tatanan ekonomi dan keadilan sosial bangsa;

Sarwo Edhie Wibowo juga terbukti terlibat langsung dalam pelanggaran HAM berat, terutama pembunuhan massal dan penghilangan paksa dalam operasi pembersihan anti-PKI pasca-1965. 

Aji mengatakan tindakan keduanya mencerminkan keterlibatan aktif dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dan struktur kekerasan negara. Kejahatan itu menimbulkan korban sipil dalam jumlah besar, sehingga tidak memenuhi syarat integritas moral dan keteladanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009.

ACMI juga menuntut Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) untuk meninjau kembali secara menyeluruh proses pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo. Dewan GTK harus mengulas ulang dasar, prosedur, dan hasil pengusulan gelar secara objektif, bebas dari intervensi politik, dan berlandaskan bukti, kajian akademik, serta norma hukum yang berlaku. 

Peninjauan ulang, kata ACMI, harus memastikan kepatuhan terhadap asas keterbukaan, akuntabilitas, dan partisipasi publik sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf (h) dan Pasal 18 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2009. ACMI menilai proses pengusulan yang berlangsung tertutup dan tanpa kontrol publik merupakan pelanggaran terhadap prinsip transparansi dan keadilan.

“Dewan GTK wajib mempublikasikan hasil evaluasi dan mengeluarkan rekomendasi tindakan korektif secara terbuka,” kata Aji.

Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan mantan presiden Soeharto dan Sarwo Edhie sebagai pahlawan nasional dalam Upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin, 10 November 2025.

Sejumlah pejabat di kabinet Presiden Prabowo Subianto memberi berbagai pembenaran atas gelar pahlawan Soeharto. Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengklaim berbagai dugaan korupsi dan pelanggaran HAM yang melibatkan mantan presiden Soeharto tidak pernah terbukti. Menurut dia, Soeharto yang kini ditetapkan menjadi pahlawan nasional tidak pernah melakukan itu.

Soeharto tidak pernah diadili hingga tuntas dalam dugaan-dugaan tersebut. Meski begitu, Fadli menyimpulkan dugaan kejahatan oleh Soeharto tak pernah terbukti. “Dugaan itu kan tidak pernah terbukti juga,” kata dia di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin, 10 November 2025.

Sementara Menteri Sosial Saifullah Yusuf meminta masyarakat mengingat hal-hal baik dari jenderal yang berkuasa 32 tahun itu. “Mari kita ingat yang baik-baik, sambil kita catat yang kurang-kurang untuk mudah-mudahan tidak terulang lagi ke depan,” kata dia di Cempaka Putih, Jakarta Pusat pada Ahad, 9 November 2025.

Menurut Saifullah, penolakan terhadap usul gelar pahlawan untuk Soeharto adalah bagian dari dinamika penganugerahan gelar. “Itu adalah bagian dari proses, dinamika. Lampiran lah dari keputusan gelar pahlawan ini,” ucap politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini.

Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam tulisan ini

  • Related Posts

    Gempa M 4,2 Guncang Kodi di Sumba NTT

    Jakarta – Gempa magnitudo (M) 4,2 terjadi di Kodi, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pusat gempa berada kedalaman 52 km. “193 km Barat Daya Kodi-Sumba Bart Daya-NTT,” tulis…

    Dubes Ungkap Makna Khusus Bilateral RI-Tunisia, Ungkit Kisah Sukarno

    Jakarta – Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia untuk Tunisia, Zuhairi Misrawi, mengatakan hubungan bilateral Indonesia-Tunisia mempunyai makna khusus tersendiri. Zuhairi mengatakan hal itu ditandai dengan persahabatan pemimpin besar Indonesia dan…

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *