KOMISI Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI menilai program makan bergizi gratis berpotensi bisa menjadi bentuk kekerasan baru karena mengancam kesehatan fisik dan psikologi anak-anak. Temuan itu muncul dalam hasil survei yang digelar oleh KPAI bersama Wahana Visi Indonesia dan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives atau CISDI, pada 11 Juli-1 Agustus 2025.
Berdasarkan laporan penelitian, tata kelola MBG yang bermasalah dianggap bisa memunculkan celah pelanggaran terhadap hak-hak anak. Permasalahan utama yang disorot adalah tingginya kasus keracunan massal akibat menyantap menu MBG. CISDI mencatat 12.820 kasus keracunan akibat MBG terjadi sepanjang Januari-31 Oktober 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Para peneliti menilai pangkal masalah keracunan itu adalah buruknya tata kelola MBG. Pengelola MBG, baik itu Badan Gizi Nasional maupun satuan penyelenggara pemenuhan gizi atau SPPG dinilai melakukan kelalaian dalam melaksanakan tugas.
“MBG berpotensi menjadi bentuk kekerasan terhadap anak itu sendiri dikarenakan terpenuhinya unsur kelalaian dan intimidasi,” demikian dikutip dari materi presentasi yang disiarkan dalam diskusi daring pada Rabu, 12 November 2025.
Dari 1.624 responden anak yang mengikuti jajak pendapat, 583 di antaranya mengaku pernah menerima makanan basi, rusak maupun memiliki bau tak sedap. KPAI lantas menyoroti temuan berikutnya yang melaporkan bahwa 11 dari 583 anak itu tetap memakan MBG yang tak laik. Alasannya adalah karena mereka merasa harus bersyukur dan tidak boleh membiarkan makanan terbuang atau mubazir.
Selanjutnya, Wakil Ketua KPAI Jasra Putra menjelaskan bagaimana MBG juga bisa memberikan tekanan psikologis bagi anak-anak. Jasra menceritakan bahwa dalam salah satu kunjungan ke daerah dengan kasus keracunan MBG, ia mendapati ada upaya intimidasi dari aparat terhadap siswa yang diwawancarai oleh wartawan.
Jasra mengatakan peristiwa itu mendatangkan trauma pada sang anak. “Pada akhirnya anak ini juga didatangi oleh aparat, di mana saya kira tidak semua keluarga siap dengan situasi itu. Jadi ini sangat kita sayangkan,” kata dia.
Kasus lain yang dilaporkan dalam penelitian ialah adanya upaya intimidasi oleh kepala SPPG terhadap siswa yang memviralkan menu MBG. Kepala dapur itu disebut mengancam anak karena merekam dan melaporkan sajian menu MBG yang tak layak.
KPAI lantas mengkategorikan itu sebagai bentuk kekerasan dengan merujuk Pasal 1 ayat 15a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Beleid itu mendefinisikan kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, penelantaran atau termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan.
Selain itu, KPAI juga berpedoman pada UNICEF yang mengartikan kekerasan terhadap anak berarti segala bentuk kekerasan fisik, mental, penganiayaan, penelantaran, perlakuan lalai, perlakuan buruk, eksploitasi hingga kekerasan seksual.
Dengan demikian, KPAI menyimpulkan bahwa temuan keracunan memenuhi unsur kelalaian dan ancaman terhadap siswa merupakan tindakan intimidasi. Kedua hal itu diyakini bisa menurunkan kondisi fisik maupun mental dari anak yang menjadi korban.
Jasra lantas mengatakan, KPAI merekomendasikan penyelenggara MBG untuk memahami isu-isu tentang perlindungan anak. Dia menekankan bahwa yang harus memberikan rasa aman kepada siswa bukan hanya sekolah, tetapi juga dapur pengelola MBG.
Alih-alih reaktif, Ia mendorong agar SPPG menerima kritikan siswa terhadap MBG sebagai bahan evaluasi. “Bisa saja ini introspeksi atau feedback ya, yang dilihat baik, yang harusnya kemudian dikembangkan menjadi perbaikan untuk programnya sendiri,” ujar Jasra.
Dalam penelitian ini, KPAI, CISDI dan WVI menggabungkan dua metode penelitian dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif dicapai dengan menyebar survei ke 1.624 siswa yang duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Sementara metode kualitatif ditempuh dengan penelitian yang dipimpin oleh peneliti anak atau child led research. Sebanyak 31 anak dari Kota Palu, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Landak, dan Kabupaten Jayapura dilibatkan dalam diskusi kelompok terarah tentang makan bergizi gratis.






