MAHASISWA dan diaspora Indonesia di Sydney, Australia menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden Soeharto. Mereka menilai pemberian gelar tersebut mencederai para korban pelanggaran HAM dan nilai-nilai demokrasi bangsa Indonesia.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Perwakilan mahasiswa dan diaspora Indonesia di Sydney, Slamet Thohari, mengatakan terdapat sejumlah alasan kenapa mahasiswa dan diaspora Indonesia menolak pemberian gelar pahlawan nasional bagi Soeharto.
“Soeharto bertanggung jawab atas tragedi pembunuhan massal 1965-1966, di mana ratusan ribu orang dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI tanpa proses hukum,” kata Slamet dalam keterangan tertulisnya pada Senin, 10 November 2025.
Dia melanjutkan, tragedi tersebut meninggalkan luka sosial mendalam yang diwariskan kepada generasi korban dengan harus mengalami diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial selama puluhan tahun.
Soeharto, kata dia, juga bertanggung jawab dalam peristiwa pelanggaran HAM berat lain, misalnya, operasi militer di Timor Timur, Tanjung Priok, Aceh, Papua, peristiwa penembakan misterius, penyiksaan, serta penghilangan paksa.
“Alasan lain, rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto menjadi simbol terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme atau KKN di Indonesia,” ujar Slamet.
Perwakilan mahasiswa dan diaspora Indonesia di Sydney lainnya, Mahesti Hasanah, mengatakan Soeharto tak layak diberikan gelar pahlawan nasional karena menjalankan pemerintahan otoriter yang membungkam demokrasi.
Dia menjelaskan, selama 32 tahun berkuasa, Soeharto menegakkan pemerintahan yang mengekang kebebasan rakyat, pers, pembungkaman oposisi, peleburan partai politik pesaing, hingga penangkapan serta penculikan aktivis dan tokoh kritis.
“Penembakan mahasiswa Trisakti dan Tragedi Semanggil menjadi simbol tragis matinya demokrasi Indonesia di bawah kekuasaan Soeharto,” ujar Mahesti.
Soeharto, kata dia, juga menerbitkan kebijakan yang menanamkan rasisme institusional terhadap warga Tionghoa. Misalnya, warga Tionghoa dilarang untuk menggunakan bahasa dan aksara Mandarin, serta perayaan kebudayaan Tionghoa juga dibatasi.
Puncak rasisme ini terjadi pada kerusuhan Mei 1998, di mana banyak warga Tionghoa menjadi korban kekerasan, pemerkosaan, dan pembunuhan tanpa adanya kehadiran negara dalam memberikan perlindungan dan keadilan bagi mereka.
“Kebijakan ekonomi yang koruptif dan monopolistik pada masa Soeharto menyebabkan krisis ekonomi 1997–1998, mengakibatkan jutaan rakyat kehilangan pekerjaan di tengah melonjaknya harga kebutuhan pokok,” kata Mahesti.
Kebijakan Soeharto dalam bidang eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan secara masif, kata dia, telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dan memperlebar kesenjangan sosial yang masih dirasakan hingga saat ini oleh generasi penerus.
“Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto merupakan bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai reformasi dan perjuangan rakyat Indonesia,” katanya.
Adapun Presiden Prabowo Subianto bakal memberikan gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto pada 10 November atau tepat momentum Hari Pahlawan.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan, terdapat 10 nama yang bakal diumumkan oleh Prabowo dalam gelar pahlawan nasional ini termasuk mertuanya, Soeharto.
“Kami menghormati para pendahulu, terutama para pemimpin, yang apa pun sudah pasti memiliki jasa yang luar biasa terhadap bangsa dan negara,” kata politikus Partai Gerindra itu usai mengikuti rapat terbatas di kediaman Prabowo di Kertanegara, Jakarta, Ahad, 9 November 2025.






