INFO NASIONAL – Sorot mata Haris Okoka begitu tajam. Tubuhnya kekar, nada suaranya tegas, seolah menggambarkan kerasnya kehidupan yang telah ditempuhnya. Remaja berusia 17 tahun itu tumbuh di jalanan Kota Jayapura, Papua, setelah kehilangan kedua orangtuanya sejak duduk di bangku sekolah dasar.
Haris sempat diasuh keluarga besar orangtuanya, namun tak bertahan lama. Ia kemudian menjadi anak angkat Hani Tukayo, ibu dari temannya semasa SMP. Meski telah memiliki rumah baru, pergaulan jalanan lebih kuat menariknya. Tawuran, balap liar, dan begadang menjadi rutinitas. “Kalau di rumah pergi main, jarang pulang, ikut tawuran lalu ikut tinju tapi gak dapat apa-apa, kalau nakal banyak,” ujarnya.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Namun hidupnya berubah arah ketika dia diterima di Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 29 Jayapura, program pendidikan berasrama yang digagas langsung oleh Presiden Prabowo Subianto. Informasi tentang sekolah itu datang dari kerabat almarhum ibunya. Meski sempat ragu, Haris akhirnya menerima tawaran tersebut dengan satu alasan sederhana: “Karena masih diizinkan latihan (tinju), saya mau,” katanya.
Perjalanan awalnya di asrama Sekolah Rakyat tidak mudah. Haris yang terbiasa hidup bebas harus menyesuaikan diri dengan aturan ketat. “Apa-apa tangan, dari awal saya susah kontrol emosi,” ujarnya. Namun, di sekolah ini ia menemukan lingkungan yang membimbingnya untuk mengubah cara berpikir.
Sinta Ari Susanti, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SRMA 29 Jayapura, menjadi salah satu sosok penting dalam transformasi Haris. Ia menjelaskan bahwa Haris menyimpan trauma masa kecil akibat kekerasan dan kehilangan sosok pengayom. “Dia tidak bisa mendengarkan suara-suara ramai, mudah tersulut emosi. Setelah kami tahu itu, kami bantu pelan-pelan dengan terapi relaksasi dan pembiasaan komunikasi empatik,” jelas Sinta.
Guru-guru di sekolah pun mencarikan tempat aman bagi Haris untuk menenangkan diri, yaitu di perpustakaan. Di sanalah Haris menemukan ketertarikan pada buku-buku sejarah. Ia juga menemukan figur ibu baru dalam sosok Kepala Sekolah SRMA 29 Jayapura, Janet Berotabui, yang menjadi penenang di saat emosinya memuncak. “Ketika dia marah, bunda Kepsek cukup elus dadanya, dan berhasil,” ujar Sinta.
Kini, empat bulan berlalu, Haris telah banyak berubah. Ia lebih tenang, tak lagi mudah marah, bahkan dipercaya menjadi Ketua Kelas 10 C dan Ketua Barak Asrama. Ia juga memiliki sahabat karib, Arlin Robby, atlet pencak silat yang kerap berlatih bersamanya.
Perubahan Haris juga dirasakan oleh ibu angkatnya, Hani Tukayo. “Kemarin pas izin pulang, dia langsung cium tangan dan bilang selamat pagi. Dulu kalau pulang, langsung ke kamar tidur, bangun cuma makan lalu main,” tuturnya.
Pelatih tinjunya, Imanuel, turut mengamati perubahan itu. Selain lebih disiplin, Haris kini memiliki berat badan ideal. “Pipi tambah gemuk, badan tambah bulat, katanya di sana makan teratur,” ujar sang pelatih sambil tertawa.
Bagi Haris, Sekolah Rakyat bukan sekadar tempat belajar, tapi rumah baru yang memberinya arah hidup. “Di sini nyaman, makanya suka. Dulu malas diatur, sekarang siap. Kalau di rumah pergi main jarang pulang, di sini semua teratur,” katanya.
Kini Haris punya mimpi besar: melanjutkan kuliah di Universitas Pertahanan (Unhan) atau menjadi prajurit TNI. “Lulus ingin masuk Unhan, kata abang sepupu yang tentara, kalau gak bisa ya masuk TNI saja, dua-duanya bagus. Mama dukung,” ucapnya.
Haris adalah satu dari ribuan siswa Sekolah Rakyat yang kini merajut masa depan dengan penuh harapan. Hingga 2025, telah berdiri 166 Sekolah Rakyat di seluruh pelosok Indonesia dengan total 15.945 siswa.
Mereka belajar berdasarkan trilogi Sekolah Rakyat yang menjadi dasar filosofinya: memuliakan wong cilik, menjangkau yang belum terjangkau, dan memungkinkan yang tidak mungkin menjadi mungkin — menumbuhkan asa, memberi harapan, dan membantu mengubah mimpi menjadi kenyataan.(*)






