Mengapa DPR Tak Transparan dalam Penggunaan Dana Reses?

INDONESIA Corruption Watch (ICW) mempertanyakan klaim Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sufmi Dasco Ahmad mengenai pemangkasan dana reses dari Rp 702 juta menjadi Rp 500 juta. ICW menilai hal itu belum dapat diverifikasi karena DPR tidak pernah membuka dokumen resmi.

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

Kepala Divisi Advokasi ICW, Egi Primayogha, menyebut DPR mengabaikan permintaan informasi publik sejak 21 Agustus 2025 yang meminta laporan pertanggungjawaban reses 2024–2025 dan dasar penetapan dana lainnya. “DPR tidak merespons positif. Mereka beralasan dokumen tersebut tidak berada di bawah penguasaan Sekretariat Jendral DPR,” ujar Egi dalam siaran pers, Jumat, 7 November 2025.

Ia menilai alasan itu janggal karena dokumen anggaran seharusnya berada dalam administrasi resmi DPR. Egi mengatakan sikap tertutup tersebut justru menimbulkan kecurigaan dan membuka celah penyimpangan. “DPR mestinya transparan dan akuntabel, bukan meminta publik percaya begitu saja,” kata dia.

ICW mendesak DPR membuka seluruh dokumen terkait pemangkasan anggaran reses dan hak keuangan lainnya demi memulihkan kepercayaan publik. Demonstrasi besar pada Agustus 2025 merupakan sinyal kuat penolakan masyarakat terhadap buruknya tata kelola anggaran DPR. ICW memperingatkan, kepercayaan publik akan merosot lebih dalam jika DPR tidak transparan.

Pemotongan dana reses DPR diputuskan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan dalam sidang putusan yang digelar pada Rabu, 5 November 2025. Pemotongan itu dilakukan melalui pengurangan titik reses tiap legislator. MKD meminta Sekretariat Jenderal memotong anggaran reses DPR menjadi 22 titik dari yang sebelumnya 26 titik.

Menurut Indonesia Parliamentary Center, kecenderungan DPR untuk tidak transparan dalam penggunaan dana reses bukanlah hal baru. Peneliti IPC, Arif Adiputro mengatakan setidaknya ada enam alasan yang melatarbelakangi itu.

Pertama, Arif menjelaskan bahwa sikap DPR yang menghindari publikasi dana reses menunjukkan keengganan legislator menerima kritik. Dia berujar, jika publik mendapatkan rincian pengeluaran DPR untuk reses, maka terbuka ruang untuk membandingkan harga. Misalnya komponen honorarium, transportasi, konsumsumsi, vendor, dan lain sebagainya. 

Sehingga ketika publik bisa membandingkan harga komponen dengan standar pasar, maka masyarakat juga berpotensi menemukan penggelembungan anggaran maupun mempertanyakan efektivitas kegiatan.

“Banyak temuan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan bertahun-tahun menunjukkan pola pemborosan dan ketidakefektifan dana program anggota DPR. Karena itu, membuka data berarti membuka ruang kritik,” tutur Arif saat dihubungi pada Ahad, 9 November 2025.

Arif juga melihat sebenarnya DPR cenderung tidak mau membuka dokumen teknis yang bisa mengonfirmasi atau membantah narasi mereka. Karena ketika transpransi penggunaan dana reses dirilis, maka publik bisa langsung mengonfirmasi kesesuaian klaim dan praktik dari DPR.

Berikutnya, alasan kedua menurut Arif adalah sulitnya memverifikasi kegiatan reses yang dilakukan masing-masing legislator. Masa reses merupakan masa di mana para anggota dewan bekerja di luar gedung DPR untuk menyerap aspirasi konstituen di daerah pemilihannya (dapil) masing-masing.

Menurut Arif, reses merupakan ruang ‘abu-abu’ akuntabilitas karena verifikasi terhadap laporan  yang disusun legislator sulit dikonfirmasi. “Apakah kegiatan benar dilakukan? Apakah jumlah peserta sesuai laporan? Apa saja output yang tercapai? Karena verifikasi sulit, informasi detail cenderung ditahan,” ujar dia.

Lalu alasan ketiga yang disebutkan oleh Arif adalah mekanisme pengawasan internal DPR tidak mendorong transparansi penggunaan anggaran. Bukan hanya dana reses, melainkan juga transparansi data secara umum.

Alat kelengkapan dewan yang menjadi tukang semprit DPR, Mahkamah Kehormatan Dewan, tidak memiliki fokus utama pada isu anggaran. Setjen DPR yang bertugas mendukung penyelenggaraan teknis dan administratif pun dinilai tidak memiliki motivasi membuka data rinci.

Dengan iklim itu, Arif menilai pimpinan DPR tidak akan mendapatkan tekanan institusional yang besar jika menahan data penggunaan dana reses. “Dengan kata lain, tidak ada ‘hukuman politik’ di dalam DPR jika tidak transparan,” ujar dia.

Selanjutnya alasan keempat yang dipaparkan oleh Arif adalah adanya kekhawatiran dari DPR bahwa data transparansi dana bisa digunakan untuk menyerang secara politik. Menurut dia, legislator kerap beralasan bahwa rincian penggunaan dana reses bisa dipelintir untuk framing negatif. Sehingga tak jarang para politikus di Senayan itu memilih strategi defensif. “Buka secukupnya, tapi tidak rinci.”

Kemudian, Arif juga melihat sikap DPR yang enggan membuka transparansi dana reses karena tidak ada kewajiban hukum yang memaksa mereka mempublikasikan rinciannya. Sebab, Undang-Undang MD3 dan Tata Tertib DPR tidak memerintahkan secara spesifik untuk publikasi laporan reses per anggota, pembukaan vendor, hinga rincian anggaran per kegiatan.

“Selama tidak wajib, DPR biasanya memilih minimal compliance (kepatuhan minimal),” tutur dia. Arif pun menyoroti lemahanya kerangka hukum yang bisa memaksa legislator terbuka dengan penggunaan dana reses mereka.

Lebih lanjut, Arif menjelaskan bahwa beberapa  lembaga swadaya masyarakat melaporkan bagaimana dana reses sering dipersepsikan sebagai ‘jatah politik’ anggota DPR. Hal itu berarti dana reses kerap dipandang sebagai ruang membiayai kegiatan konstituen yang mendukung elektabilitas.

Sehingga jika dipublikasikan, maka membuka celah pola itu akan terlihat jelas. “Maka lebih aman ditutup,” kata dia. Atas hal ini Arif melihat adanya kepentingan politik bagi anggota dewan untuk menjaga fleksibilitas penggunaan dana.

Sehingga, Arif menyimpulkan bahwa DPR tidak transparan soal dana reses karena bisa membuka data yang meningkatkan risiko kritik, sruktur internal tidak memaksa transparansi, kerangka hukum lemah, serta ada kepentingan politik bagi anggota untuk menjaga fleksibilitas dana.

Dani Aswara berkontribusi dalam tulisan ini
  • Related Posts

    Kepala BPBD Belu NTT Ditemukan Tewas di Jurang, Sempat Pamit Beli Rokok

    Jakarta – Kepala Pelaksana (Kalaksa) BPBD) Belu, Fransiskus Xaverius Asten, ditemukan tewas di salah jurang di wilayah Belu, NTT. Sebelum ditemukan tewas, korban sempat pamit dari rumahnya untuk membeli rokok.…

    Petugas Koperasi di Medan Dianiaya Nasabah saat Tagih Utang, Pelaku Ditangkap

    Jakarta – Seorang wanita yang berprofesi sebagai petugas koperasi, Michelle Gultom (22), dianiaya nasabahnya saat tengah menagih utang di Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut). Tak terima dianiaya, Michelle melaporkan peristiwa…

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *