HASIL analisis media kernel Drone Emprit ihwal rencana pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto menunjukkan citra negatif di media sosial. Pendiri media kernel Drone Emprit, Ismail Fahmi, mengatakan pemantauan platform media sosial dan portal berita selama 20 Oktober-7 November 2025 memperlihatkan 63 persen sentimen negatif di media sosial. Sedangkan, hanya 27 persen yang berisi sentimen positif dan 11 persen netral.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Data menunjukkan dominasi sentimen negatif di media sosial, kontras dengan media online yang lebih positif,” kata Ismail Fahmi dalam keterangan pers yang dikutip dari situs Drone Emprit, 8 November 2025.
Adapun portal media online menunjukan sebaliknya. Sebanyak 64 persen mendapat sentimen positif dengan 29 persen yang negatif. Sedangkan 6 persen netral.
Ismail mengatakan sentimen positif membicarakan klaim jasa-jasa Soeharto, antara lain berjasa membangun ekonomi, swasembada pangan, mampu menjaga stabilitas nasional, serta menyejahterakan rakyat. Sentimen positif juga menyoal Soeharto sudah memenuhi syarat pencalonan penerima gelar. Selain itu, pemberian gelar ini mendapat dukungan dari petinggi Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan Persatuan Ummat Islam (PUI).
Adapun sentimen negatif menyinggung Soeharto sebagai simbol KKN dan penggadai kekayaan alam, pelanggar HAM berat dan dalang genosida 1965-1966, serta kebijakan rezim Orde Baru yang represif menindas kebebasan dan umat Islam. Lainnya sentimen negatif menyebut bahwa pemberian gelar Soeharto untuk memutihkan sejarah Orde Baru dan korupsi sistemiknya, serta terkesan ironi karena menjadikan aktivis 1998 seolah penjahat.
Di samping itu, Ismail mengatakan terjadi polarisasi tajam di mana media daring cenderung mendukung prosedural pemberian pahlawan. Sebaliknya, media sosial menjadi basis perlawanan aktivis. “Pertarungan memori antara jasa pembangunan melawan rekam jejak kelam Orde Baru sangat kentara,” ujarnya.
Narasi penolakan di media sosial memunculkan tagar perlawanan masif di X seperti #SoehartoBukanPahlawan dan #TolakGelarPahlawanSoeharto. Ismail menuturkan bahwa influencer yang kontra pemberian gelar ini memiliki interaksi yang jauh lebih tinggi dan organik dibandingkan akun-akun pendukung gelar Soeharto.
Selain itu, media sosial juga dipenuhi kekhawatiran pemberian gelar akan menganulir perjuangan Reformasi 1998 dan melanggengkan impunitas kejahatan masa lalu. Apalagi pemberian gelar untuk Soeharto bersamaan dengan rencana pemberian gelar pahlawan kepada korban rezimnya, yakni Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan Marsinah.
“Aktivisme digital mendominasi opini publik, mengalahkan narasi pendukung. Muncul kekhawatiran “revisi” amanat Reformasi, diperparah ironi moral karena Soeharto diusulkan bersama korban rezimnya,” kata Ismail.
Di platform X, narasi terbagi jelas, yakni kelompok kontra dan aktivis yang vokal menolak dengan isu HAM atau korupsi, melawan narasi pro yang fokus pada stabilitas ekonomi, serta media yang memberitakan keduanya. Menurut Ismail, X secara umum memiliki mayoritas sentimen negatif atau 63 persen akibat resistensi publik organik.
“Menariknya, Facebook sangat positif (80 persen) mendukung Soeharto sebagai tokoh sentral. Instagram lebih terbelah meski masih dominan positif (56 persen), dengan catatan kritis soal moralita,” ujar Ismail.
Sedangkan YouTube didominasi sentimen positif sebanyak 62 persen dan TikTok 77 persen. Sentimen positif di dua platform ini banyak mengangkat nostalgia stabilitas ekonomi dan sosok pemimpin kuat, meski konten penolakan juga tetap eksis.
Analisis sentimen publik oleh Drone Emprit ini dilakukan pada 20 Oktober-7 November 2025 pukul 17.59 WIB. Pemantauan ini dilakukan terhadap platform Twitter (X), Facebook, Instagram, YouTube, TikTok, dan media daring.
Drone Emprit mencatat isu pemberian gelar untuk Soeharto diberitakan dalam 2.333 artikel dan 7.230 mention, serta sampel percakapan di media sosial sebanyak 19.092 mention.
Adapun total mention isu pemberian gelar pahlawan Soeharto mencapai 27. 910 mention dengan total 26.078.004 interaksi. “Angka ini menunjukkan betapa tingginya atensi dan keterlibatan emosional publik terhadap isu ini,” ujar Ismail.






