ANGGOTA Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Bonnie Triyana mengingatkan pentingnya melihat fakta sejarah secara utuh dalam menyikapi usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada presiden ke-2 Soeharto. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mengatakan, pahlawan seharusnya tak memiliki catatan sejarah kelam.
Pilihan editor: Mengapa Soeharto Masih Populer Hingga Hari Ini
“Pahlawan sejati bukanlah dia yang membawa dampak kesengsaraan begitu banyak. Bukanlah dia yang pernah membungkam suara-suara kritis dari aktivis mahasiswa,” kata Bonnie dalam keterangan tertulis pada Sabtu, 8 November 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Sebagai seorang sejarawan, Bonnie meyakini bahwa Soeharto membungkam kebebasan berekspresi terhadap orang yang mengkritiknya. Orang-orang yang lantang menentang Soeharto saat itu, kata dia, juga ditangkap bahkan dihilangkan.
Menurut Bonnie, sebagai pelaku sejarah, Soeharto terbukti meninggalkan krisis ekonomi di Indonesia. Meski di lain sisi, Soeharto juga dijuluki sebagai bapak pembangunan Indonesia.
“Krisis tahun 1997-1998 itu menunjukkan bahwa apa yang dibangun selama puluhan tahun itu hanya seperti raksasa berkaki tanah lempung, tidak kuat dia menyangga,” ujar dia.
Bonnie juga menyinggung banyaknya peristiwa perampasan aset masyarakat yang terjadi di masa lalu. Ia menyebutkan, misalnya, kasus penggusuran untuk pembuatan Waduk Kedung Ombo, konflik agraria berupa perampasan lahan di Tapos, Bogor, kemudian sengketa lahan di Cimacan, Cianjur.
“Dia yang menyebabkan puluhan, seratusan ribu orang hilang tidak hanya kehilangan nyawa, tetapi juga kehilangan hartanya. Kita lihat di Waduk Kedung Ombo, kita lihat di Tapos, kita lihat di Cimacan, ada banyak sekali perampasan-perampasan,” kata Bonnie.
Menurut Bonnie, seorang pahlawan sejati tidak seharusnya meninggalkan penderitaan bagi bangsanya sendiri. Sehingga Bonnie menilai Soeharto tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi pahlawan. “Pahlawan sejati semestinya dia yang tidak pernah mendatangkan duka untuk rakyatnya sendiri atau untuk komunitasnya atau untuk masyarakatnya,” tutur dia.
Lebih lanjut, Bonnie mengusulkan agar penilaian terhadap tokoh yang layak diberi gelar pahlawan nasional diserahkan kepada generasi yang lahir setelah kepemimpinan 32 tahun Soeharto berakhir. Dia meyakini para generasi itu bisa lebih objektif dan lebih punya kemampuan untuk menentukan mana pahlawan sejati dan mana yang bukan.
Rencana pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto dikritik publik. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi tidak menjawab apakah Presiden Prabowo Subianto mengetahui banyaknya penolakan atas rencana tersebut.
Prasetyo hanya menyatakan pengusulan penerima gelar pahlawan nasional dilakukan melalui prosedur. Ia menuturkan memang akan ada respons pro dan kontra. Tapi ia meminta semua pihak melihat hal positif pada Soeharto.
“Marilah kita arif dan bijaksana, belajar menjadi dewasa, sebagai sebuah bangsa untuk menghormati serta menghargai jasa-jasa para pendahulu. Mari kita kurangi selalu melihat kekurangan-kekurangan,” katanya di Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu, 8 November 2025.
Eka Yudha Saputra berkontribusi dalam tulisan ini
Pilihan editor: Fakta-fakta Peristiwa Ledakan di SMAN 72 Jakarta





