
Kisah perempuan Gaza: Menjaga asa sebagai ibu dan dokter dsaat konflik
- Minggu, 19 Oktober 2025 07:52 WIB
- waktu baca 3 menit

Gaza (ANTARA) – Pada dini hari, dokter kandungan dan kebidanan Somaya Shomer bergegas menuju Rumah Sakit Lapangan al-Awda di kamp pengungsi al-Nuseirat, Jalur Gaza Tengah. Menyeimbangkan perannya sebagai dokter dan ibu dari tiga anak, dia membantu perempuan melahirkan di tengah perang dan kehancuran.
“Pada kehamilan sebelumnya, saya menikmati setiap tahapnya,” tutur dokter kandungan berusia 34 tahun itu, saat memasuki ruang pemeriksaan yang kini berfungsi sebagai klinik sekaligus tempat berlindung.
“Tetapi kali ini saya dipenuhi kekhawatiran, tentang kesehatan saya, kekurangan makanan, dan konflik yang terus berlanjut,” katanya.
Sebelum kehamilannya mencapai tahap akhir, Shomer bekerja lebih dari 50 jam sepekan. “Sekarang saya bekerja sekitar 35 jam. Setiap hari kami menerima lebih dari 200 kasus, dan angka tersebut terus meningkat seiring pengungsian,” ungkapnya.
Meskipun bekerja sebagai dokter, Shomer menghadapi tantangan yang sama dengan pasiennya. Setiap pagi, dia menyiapkan makanan sederhana berupa roti dan sayuran untuk keluarganya sebelum berangkat kerja. “Saya cepat lelah dan tidak bisa mengakses makanan seperti susu atau buah yang dibutuhkan ibu hamil. Kerap kali saya makan porsi kecil yang tidak cukup untuk bayi,” ujarnya.
Saat pulang ke rumah, rasa lelah sering kali menghalanginya untuk menghabiskan banyak waktu dengan anak-anaknya. “Bahkan tidur tanpa gangguan atau segelas air bersih menjadi sebuah kemewahan. Terkadang saya tertidur masih mengenakan baju kerja,” katanya.
Kondisi di rumah sakit mencerminkan krisis kemanusiaan yang lebih luas. Pasien berdesakan di koridor sempit, menunggu giliran di kursi plastik. Raungan sirene ambulans bercampur dengan tangisan. Perawat mencatat kedatangan baru, sementara dokter memberikan perawatan dengan peralatan seadanya.
“Banyak rekan kami yang tewas atau mengungsi,” kata Heba Nassar, seorang perawat Palestina yang kehilangan rumahnya, seraya menambahkan,
“Kami bekerja dengan peralatan seadanya untuk memberikan sedikit rasa aman bagi para wanita,” ujarnya.
Di antara pasien yang menunggu adalah Alaa al-Madhoon (35), yang mengungsi dari kawasan Sheikh Radwan di Gaza City “Saya sedang hamil lima bulan. Tetapi makanan tidak mencukupi dan perawatan medis tidak memadai. Beberapa wanita bahkan tidak bisa mendapatkan pemeriksaan dasar,” katanya.
Al-Madhoon, yang kehilangan saudaranya Ahmad dalam serangan udara lima bulan lalu, mengatakan bahwa dia tidak merencanakan kehamilannya. “Saya tahu benar betapa menderitanya perempuan dalam perang. Namun takdir berkata lain. Jika saya melahirkan anak laki-laki, saya akan menamainya Ahmad,” tambahnya.
Meskipun berkekurangan, rumah sakit tetap beroperasi setiap hari. Organisasi internasional sesekali menyediakan air kemasan, disinfektan, dan perlengkapan medis, tetapi staf mengatakan itu tidak memenuhi kebutuhan minimal.
Bagi Shomer, tantangannya bukan sebatas di rumah sakit. “Suami saya juga seorang dokter. Terkadang kami berdua bertugas, meninggalkan anak-anak kami sendirian. Ini tanggung jawab yang berat, tetapi kami terus menjalankannya,” katanya.
Di ruang bersalin, momen ketakutan sesekali berganti dengan momen harapan. “Dengan setiap kelahiran, kami merasa harapan masih ada, bahwa kehidupan lebih kuat daripada kematian,” kata Shomer.
Konflik di Gaza telah memasuki tahun ketiganya, dan krisis kemanusiaan terus memburuk. Menurut otoritas kesehatan Gaza, lebih dari 67.000 warga Palestina tewas, termasuk sekitar 20.100 wanita dan 10.400 anak-anak, sementara lebih dari 169.000 orang terluka.
Meskipun didera penderitaan, suara bayi baru lahir terus bergema di rumah sakit lapangan. “Setiap anak yang lahir di Gaza adalah pesan bahwa rakyat kami tetap berharap pada kehidupan meskipun menghadapi segala kesulitan,” kata Shomer.
Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
Komentar
Berita Terkait
Ribuan guru UNRWA siap didik lagi anak-anak Gaza
- 13 jam lalu
Rekomendasi lain
Cara cek Kartu Keluarga secara online
- 19 Agustus 2024
Potong kuku malam hari, bolehkah?
- 23 Juli 2024
Pahami algoritma agar konten TikTok masuk FYP
- 13 Oktober 2024
4 cara cek nomor IMEI OPPO dan keasliannya
- 9 Agustus 2024
Daftar pemain Indonesia vs China, pasukan Garuda lebih mewah
- 14 Oktober 2024