Media, pesantren, dan luka kebudayaan

Telaah

Media, pesantren, dan luka kebudayaan

  • Oleh Dr. Eko Wahyuanto *)
  • Rabu, 15 Oktober 2025 09:57 WIB
  • waktu baca 5 menit
Media, pesantren, dan luka kebudayaan
Ilustrasi – sejumlah santri beraktivitas di area pondok pesantren yang ada di wilayah Kabupaten Tangerang, Banten. (ANTARA/Azmi Samsul M)

Jakarta (ANTARA) – Belajar di pesantren bukanlah sekadar menempuh ilmu dalam institusi pendidikan, tetapi panggilan jiwa spiritual untuk dapat menghadapi tantangan kerusakan moral di tengah gempuran modernitas.

Pesantren adalah ruang sakral pembelajaran dalam format inklusif, untuk mendalami ilmu agama, dan memupuk mimpi menjadi manusia yang lebih utuh. Sebab pesantren adalah benteng moral bangsa, tempat lahirnya tokoh-tokoh besar, seperti KH Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama), hingga KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah).

Belajar melalui pesantren bukan hanya soal mengejar ilmu, tetapi juga adab, nilai yang kini kian terkikis di tengah hiruk-pikuk urban.

Kesalahan pandang

Hari ini kita disuguhi tema tentang pesantren yang memicu polemik di ruang publik. Tagar #Boikot Trans7 di platform X, melalui episode Xpose Uncensored di Trans7 mengundang berbagai pandangan. Bagaimana seharusnya media merumuskan agenda setting-nya, sehingga melahirkan karya jurnalistik yang mengedukasi, bukan justru menjurus pada pelecehan budaya.

Media, termasuk stasiun televisi, tidak seharusnya mengumbar narasi sensasionalitas, mengejar rating, tetapi mengorbankan kehormatan sebuah tradisi yang telah berabad-abad menjadi pilar budaya bangsa.

Filsuf komunikasi Jürgen Habermas pernah memperingatkan bahwa media yang kehilangan etika publik hanya akan menghasilkan “distorsi komunikatif.” Alih-alih mencerahkan, media semacam ini justru merusak ruang publik, memicu polarisasi, dan mengkhianati tanggung jawabnya sebagai pilar demokrasi.

Media yang melakukan kesalahan dengan agenda setting ceroboh, maka “luaran produk” kontennya bisa menjelma menjadi pesan yang “agitatif”. Narasi seperti itu bukan hanya keliru, tetapi juga berbahaya, karena berpotensi merendahkan institusi, seperti pesantren, yang telah terbukti melahirkan pemimpin-pemimpin besar bangsa. Media yang gagal memahami konteks budaya lokal hanya akan memperdalam jurang ketidakpercayaan publik.

Nyawa media

Sebagaimana makna yang ditegaskan dalam Undang-Undang Pers Nomor 4 tahun 1999, sensasionalisme bukanlah kebebasan pers, tetapi pengkhianatan terhadap nilai-nilai jurnalisme itu sendiri. Maka, media harus memahami prinsip fundamental dalam menjalankan fungsinya sebagai alat penyebarluasan konten pendidikan yang mencerahkan publik.

Kejadian seperti itu bukanlah yang pertama di dunia. Di India, pada 2019, sebuah stasiun televisi swasta memicu kontroversi serupa, dengan menayangkan dokumenter yang menggambarkan madrasah sebagai sarang ekstremisme. Hasilnya, protes massal meletus di berbagai kota, diikuti boikot terhadap stasiun tersebut dan pengiklan yang mendukungnya. Pemerintah India, bahkan membentuk komite investigasi untuk meneliti pelanggaran etika media.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Komentar

Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.

Berita Terkait

Rekomendasi lain

  • Related Posts

    Pengurus dan kader PKB hadir dalam aksi solidaritas di halaman Trans7

    English Terkini Terpopuler Top News Pilihan Editor Pemilu Otomotif Antara Foto Redaksi Pengurus dan kader PKB hadir dalam aksi solidaritas di halaman Trans7 Rabu, 15 Oktober 2025 12:57 WIB waktu…

    Pemerintah siapkan mekanisme pengawasan jaga integritas karbon RI

    English Terkini Terpopuler Top News Pilihan Editor Pemilu Otomotif Antara Foto Redaksi Pemerintah siapkan mekanisme pengawasan jaga integritas karbon RI Rabu, 15 Oktober 2025 12:55 WIB waktu baca 2 menit…

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *