Mempromosikan “agama cinta”

Telaah

Mempromosikan “agama cinta”

  • Oleh Masuki M. Astro
  • Rabu, 27 Agustus 2025 05:44 WIB
  • waktu baca 5 menit
Mempromosikan
Ilustrasi – Sejumlah warga lintas agama bersilaturahmi dengan umat Buddha dalam perayaan Hari Raya Tri Suci Waisak 2569 BE tahun 2025 di Wihara Buddha Bhumika, Dusun Thekelan, Desa Batur, Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (12/5/2025). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/YU

Bondowoso (ANTARA) – “Agama cinta”. Ini bukan agama baru. Frasa ini untuk menegaskan dan mengingatkan semua umat beragama untuk kembali menerapkan fondasi ajaran, yakni mewujudkan cinta atau rahman rahim, dalam konteks Islam.

Agama cinta tidak pernah memberi ruang untuk tumbuhnya sikap intoleran, apalagi sikap permusuhan dengan membawa-bawa agama, seperti yang ditunjukkan oleh penganut paham teroris.

Perjumpaan ajaran dasar dari semua agama ini, yang kemudian kita sebut agama cinta, terlihat ketika di atas panggung sebuah acara, seorang pendakwah (Islam) terkemuka tampil bersama dengan seorang bante, rohaniawan dari agama Buddha.

Agama cinta tersaji dalam suasana penuh canda dan keakraban, ketika si habib mengawali ceramahnya dengan menyebut bahwa peserta yang hadir di acara itu mayoritas Muslim. Karena itu, si bante diminta untuk tidak sok (merasa lebih dari yang lain).

Berbekal agama cinta, si bante membalas candaan itu, dengan mengingatkan agar si habib juga “tidak sok”. Meskipun peserta acara itu mayoritas Muslim, si bante menegaskan bahwa pelantang suara (mik) yang digunakan oleh si habib adalah buatan umat Buddha. Keduanya tertawa bersama, demikian juga dengan hadirin.

Kesamaan pesan dalam candaan dua tokoh agama di depan umum yang membawa moral agama cinta itu adalah, keduanya tidak boleh sok, baik sok karena merasa ajarannya paling benar atau pun sok paling berhak untuk hidup di Indonesia.

Keakraban kedua tokoh “agama cinta” itu adalah gambaran ideal dari kerukunan hidup di Indonesia yang memang dibangun di atas fondasi keragaman atau perbedaan.

Kedua tokoh yang mewakili agama cinta itu membawa pesan bahwa dalam beragama ada satu pesan dasar yang sama yang seharusnya menjadi pegangan bersama, yakni hidup rukun dan damai dalam naungan rumah bersama, yakni Indonesia.

Pesan yang sama itu adalah cinta. Semua agama sama-sama mengajarkan cinta kepada umatnya. Karena ketika antarumat beragama yang berbeda iman itu saling mencintai, maka sesungguhnya kita telah menjalankan ajaran dasar dari agama.

Karena itu si habib dan si bante melanjutkan candaannya tadi dengan ungkapan lebih serius, seperti koor, namun membawa pesan damai, yaitu “Beda warna, beda jahitan, satu Indonesia, bersama dalam kebaikan”.

Kalau dalam Islam, agama ini sebagai rahmat bagi seluruh alam atau “rahmatan lil'alamin”, Buddha hadir dengan ajaran Metha, Kristen hadir mengusung ajaran cinta kasih, demikian juga dengan agama lainnya.

Bahkan, Nabi Muhammad Saw mempertegas ajaran dasar mengenai cinta itu dalam sebuah hadits bahwa, “Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk memperbaiki akhlak”.

Makna akhlak ini mencakup hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama, termasuk dengan alam sekitar.

Dalam beberapa kisah, Nabi Muhammad betul-betul menunjukkan akhlak mulia yang menjadi ajaran utama dari agama Islam.

Kisah paling populer dari kelembutan hati dan sikap Rasulullah Muhammad Saw adalah ketika menghadapi hinaan dari seorang perempuan tua buta yang setiap hari disuapi makan, meskipun dari mulut si perempuan itu selalu keluar kata makian terhadap Nabi Muhammad.

Nabi Muhammad tidak pernah sakit hati kepada perempuan itu, apalagi mendendam dan membalasnya dengan kekerasan. Sebaliknya, nabi tetap meluangkan waktu untuk menyuapinya, dengan penuh cinta. Sampai ketika Rasulullah wafat, peran itu digantikan oleh salah seorang sahabat. Si perempuan itu protes karena cara menyuapi makanan tidak selembut yang dilakukan oleh Rasulullah.

Akhirnya sahabat itu bercerita bahwa yang selama ini bersikap baik kepada si perempuan itu adalah Nabi Muhammad. Akhirnya, si perempuan itu menangis dan bertobat, hingga mengakui kerasulan Muhammad Saw.

Peristiwa lainnya adalah ketika seorang laki-laki selalu meludahi wajah Rasulullah, setiap nabi lewat di suatu daerah. Meskipun demikian, Rasulullah tidak pernah menunjukkan permusuhan terhadap laki-laki itu.

Sampai suatu hari, Rasulullah tidak menjumpai laki-laki itu di tempat biasa nabi lewat. Ketika diperoleh informasi bahwa laki-laki itu sakit, Rasulullah menyambangi atau menjenguk laki-laki yang selama ini bersikap kurang ajar kepadanya.

Mendapati Rasulullah datang ke rumahnya, hati si laki-laki itu luruh dan menangis. Ia meminta maaf dan kemudian mengikuti ajaran agama yang dibawa oleh Rasulullah.

Cerita lain adalah ketika Rasulullah datang berdakwah ke wilayah Thaif. Bukan perlakuan baik yang diterima, nabi dan rombongan justru diusir, bahkan hingga dilempari batu. Orang-orang itu menuduh, dengan hinaan, “Muhammad pendusta”.

Menghadapi sikap seperti itu, lagi-lagi nabi konsisten pada tugas mulianya dari Allah, yakni untuk memperbaiki akhlak dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Ketika malaikat Jibril menawarkan untuk membumihanguskan wilayah Thaif atas peristiwa pengusiran itu, Rasulullah menolak.

Sesuai hadits yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi, Nabi Muhammad memilih sikap memaafkan dan mendoakan baik untuk orang-orang Thaif. “Ya Allah, berilah hidayah untuk kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui”.

Dari ketiga kisah yang telah diteladankan oleh Rasulullah itu sangat jelas bahwa pesan dan sikap cinta selalu dikedepankan dalam menyikapi situasi, bahkan termasuk peristiwa yang secara pribadi sangat menyakitkan.

Karena itu, kalau ada tokoh agama yang mengajak umatnya untuk mengedepankan caci dan permusuhan, bahkan tindakan teroris, dapat dipastikan tidak sesuai dengan ajaran dasar Islam yang disebarkan oleh Rasulullah.

Kembali ke peringatan habib dan bante di atas, kita tidak perlu sok dalam beragama. Bagi warga Indonesia, tidak ada pilihan lain dalam beragama, kecuali saling menghormati, bahkan saling melindungi serta saling memberi rasa nyaman dengan umat berbeda iman.

Untuk menanamkan pemahaman agama cinta harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan di negeri ini. Pemahaman agama cinta perlu ditanamkan sejak dini kepada anak-anak, sehingga mereka tidak mudah terjebak dalam paham beragama yang radikal. Anak-anak yang sejak kecil sudah ditanamkan rasa saling menyayangi terhadap siapapun akan memiliki benteng jiwa yang kuat untuk menjadi pelaku, bahkan pelopor terhadap sikap toleransi.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Komentar

Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.

Berita Terkait

Rekomendasi lain

  • Related Posts

    IBL All Indonesian 2025 dan kebangkitan basket lokal

    English Terkini Terpopuler Top News Pilihan Editor Pemilu Otomotif Antara Foto Redaksi Bola Basket IBL All Indonesian 2025 dan kebangkitan basket lokal Oleh Aditya Ramadhan Rabu, 27 Agustus 2025 09:58…

    Satgas Cartenz rekonstruksi kasus pembunuhan dua Brimob di Nabire

    English Terkini Terpopuler Top News Pilihan Editor Pemilu Otomotif Antara Foto Redaksi Satgas Cartenz rekonstruksi kasus pembunuhan dua Brimob di Nabire Rabu, 27 Agustus 2025 09:58 WIB waktu baca 3…

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *