
Radiolog sebut terjadi disparitas MRI di berbagai provinsi Indonesia
- Jumat, 22 Agustus 2025 17:58 WIB
- waktu baca 2 menit

Jakarta (ANTARA) – Dokter Spesialis Radiologi lulusan Universitas Indonesia dr. Yonathan William, Sp. Rad menyebut saat ini masih terjadi disparitas dari penyebaran alat Magnetic Resonance Imaging (MRI) di berbagai provinsi Indonesia.
“Kita punya 34 provinsi, di Bengkulu, ini tidak ada satupun MRI yang menyala. MRI terdekat itu 490 kilometer, 10 jam dengan mobil,” kata Yonathan dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat.
Berdasarkan data pada tahun 2023 yang dipaparkannya, Yonathan mencontohkan Kalimantan Barat hanya memiliki dua sistem MRI dengan jumlah penduduk mencapai 5 juta jiwa. Sumatera Barat dengan 5,5 juta penduduk hanya memiliki 4 alat kesehatan tersebut.
Sementara Riau mempunyai lima sistem MR, padahal penduduknya sudah ada sebanyak 6,8 juta jiwa. MR di provinsi itu dikabarkan akan ditambahkan satu alat lagi dalam waktu dekat.
Baca juga: CT Scan dan MRI berperan penting dalam diagnosis aneurisma otak
“Padahal ini adalah provinsi-provinsi dengan GDRP yang regionalnya cukup tinggi,” ucapnya yang kini bekerja di Rumah Sakit EMC Tangerang itu.
“Di Jakarta, populasinya 10 juta, saya tidak tahu ada berapa MRI-nya, tapi kalau saya disuruh sebut, saya bisa sebut 30 minimal. Jadi ada disparitasnya luar biasa,” tambahnya.
Menurutnya, pemerintah harus mulai memperhitungkan untuk menambah kapasitas dari alat tersebut karena permintaan pemeriksaan menggunakan MRI di Indonesia kian meningkat.
Rumah sakit juga masih menghadapi risiko besar akibat ketergantungan pada pengisian ulang helium yang dipakai untuk alat tersebut.
Dengan perhitungan negara-negara yang sudah bergabung menjadi bagian Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) saja per satu juta populasi sudah memiliki sekitar 11 hingga 50 MRI.
Sedangkan wilayah di Indonesia yang merupakan negara kepulauan, rata-rata masih harus berjuang dengan satu buah sistem MRI.
“Sehingga sangat sulit kita mau membuat layanan sehat yang baik. Kita tidak tahu apa yang harus diatur, kita tidak tahu keadaan fenotip masing-masing subjeknya seperti apa, semua kita rata-rata sama dan outcome-nya tidak mungkin seperti itu,” ucap dia.
Hal lain yang menurut Yonathan harus dijadikan sebagai bahan pertimbangan penambahan alat adalah bidang medis akan terus berkembang dan diikuti oleh seluruh tenaga medis serta kebutuhan pasien di Indonesia.
Oleh karenanya, ia berharap agar MRI dapat ditambah, sehingga dari permintaan pasien dapat terpenuhi dan terlayani dengan baik.
Baca juga: Dokter paparkan bahaya aneurisma otak dan cara penanganannya
Baca juga: Dokter: Waspada, aneurisma otak yang tak pecah seperti bom waktu
Baca juga: Dokter: Laki-laki juga berisiko terkena kanker payudara
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
Komentar
Berita Terkait
Dokter: Laki-laki juga berisiko terkena kanker payudara
- 11 Oktober 2024
BRIN kembangkan teknologi pendeteksi dini kanker
- 24 Juni 2024
Hindari rusak otak permanen dengan ingat “golden hour”
- 29 Februari 2024
Dokter bisa tekan ‘emboli kolesterol’ lewat radiologi intervensi
- 29 Februari 2024
Rekomendasi lain
Cara top up DANA melalui Alfamart dan M-Banking
- 19 Agustus 2024
Apakah main saham haram dalam Islam?
- 8 Agustus 2024
Syarat Magang Bakti BCA dan besaran gajinya
- 17 Juli 2024
Berapa iuran BPJS Ketenagakerjaan? Berikut daftarnya
- 25 Juli 2024