
Budayawan Banyumas ajak masyarakat memaknai tradisi “Suran”
- Sabtu, 19 Juli 2025 03:22 WIB
- waktu baca 4 menit

Banyumas (ANTARA) – Sejumlah budayawan Banyumas mengajak masyarakat Jawa, khususnya Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, untuk memaknai tradisi “Suran” yang biasa digelar setiap bulan Sura pada kalender Jawa atau bulan Muharam dalam kalender Islam.
Ajakan tersebut disampaikan Ketua Yayasan Dhalang Nawan Bambang Barata Aji, Sekretaris Umum Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas (DKKB) Jarot C Setyoko dan pelaku seni budaya Deskart S Jatmiko.
Ajakan disampaikan saat menjadi narasumber dalam diskusi dengan tema “Sejarah dan Makna Suran Bagi Orang Jawa” yang digelar Yayasan Dhalang Nawan di Sanggar Among Jitun Dhalang Nawan, Desa Karangnangka, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, Jumat malam.
Dalam kesempatan tersebut, Deskart S Jatmiko memaparkan sejarah tradisi “Suran” yang berawal dari keputusan Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo menggabungkan kalender Saka dengan kalender Hijriah/Islam untuk membentuk penanggalan Jawa.
Menurut dia, penggabungan tersebut merupakan langkah strategis pada masa konsolidasi kekuasaan karena kala itu, Sultan Agung tengah mempersiapkan kekuatan militer untuk melawan penjajahan VOC di Batavia.
Baca juga: Polisi lakukan penyekatan antisipasi konvoi motor saat Suran Agung
Narasumber lainnya, Jarot C Setyoko mengatakan penetapan bulan Sura dalam kalender Jawa tidak hanya merupakan keputusan politik Sultan Agung, tetapi juga mencerminkan kecerdasan kultural masyarakat Jawa dalam merangkum nilai-nilai lintas agama dan peradaban.
Menurut dia, kata “Sura” berasal dari bahasa Arab “Asyura”, merujuk pada tanggal 10 Muharam yang memiliki makna penting bagi banyak tradisi dan agama.
Ia pun memaparkan makna penting tanggal 10 Muharam bagi umat Islam Syiah serta kaum Yahudi dan Nasrani jika menggunakan kalender Ibrani karena tanggal tersebut berkaitan dengan kisah penyelamatan Nabi Musa dan perayaan Paskah.
“Ini menunjukkan bagaimana masyarakat Jawa secara cerdas menyerap nilai-nilai dari berbagai peradaban dan menyatukannya dalam sistem sosial-budaya yang harmonis,” katanya.
Sementara itu, Bambang Barata Aji mengatakan tradisi “Suran” merupakan manifestasi dari sistem penanggalan dan tata nilai masyarakat Jawa yang hidup selaras dengan alam semesta.
Baca juga: Pemkot Madiun terbitkan surat edaran jaga kamtibmas jelang “Suroan”
“’Suran” bukan hanya perayaan, melainkan bentuk penghormatan terhadap leluhur, terhadap kehidupan, terhadap Tuhan dan terhadap segala yang terlihat maupun tidak terlihat.
“Ini tradisi yang lahir dari kebijaksanaan lokal Jawa,” kata Koordinator Wilayah Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Banyumas Raya itu.
Menurut dia, tradisi “Suran” juga merupakan jembatan budaya yang menciptakan ruang untuk memperkuat rasa kebersamaan.
Ia mengajak masyarakat untuk tidak melupakan akar budaya di tengah arus globalisasi dan modernisasi.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal dan menjaga budayanya sendiri. Negara seperti China, Korea dan Jepang bisa maju karena budaya mereka tidak ditinggalkan, kita juga bisa,” katanya.
Baca juga: Tradisi “Suran Tutup Ngisor” lereng Merapi untuk tolak bala pandemi
Ditemui di sela acara, Bambang menegaskan pentingnya pelestarian tradisi “Suran” sebagai bagian dari jati diri budaya Jawa dan identitas bangsa serta lambang integrasi dan penyatuan kebudayaan.
“Dulu ada dikotomi kuat antara budaya Jawa dan Islam. Sultan Agung berupaya menyatukannya lewat penetapan kalender Jawa-Islam,” katanya.
Ia pun menyambut baik wacana Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menginisiasi adanya Hari Kebudayaan Nasional setiap tanggal 17 Oktober meskipun penetapan tanggal tersebut memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Ia mengatakan terlepas dari pro-kontra, wacana penetapan Hari Kebudayaan Nasional merupakan langkah maju karena budaya selama ini terlalu dipinggirkan negara.
“Kalau dulu ekonomi, hukum, bahkan politik dijadikan panglima namun hasilnya belum menyejahterakan, maka sekarang biarlah budaya jadi panglima,” katanya.
Baca juga: Hidup berkelindan seni di tengah pandemi
Ia mengatakan, budaya tidak hanya mencakup seni, juga teknologi, tradisi dan keseluruhan cipta karya manusia dalam menjalani kehidupan, sehingga jangan sampai Hari Kebudayaan nantinya sarat kepentingan sempit.
Menurut dia, dasar penetapannya harus kuat dan mengakar pada nilai-nilai budaya bangsa, bukan karena pertimbangan politis sesaat.
Karena itu, dia mengajak semua pihak, baik yang pro maupun kontra, untuk berdiskusi secara terbuka dan konstruktif terkait dengan penetapan tanggal 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional.
“Kami berharap budaya tidak hanya dijadikan perayaan simbolik, tetapi sungguh diberi ruang oleh negara untuk berkembang dan menjadi fondasi peradaban Indonesia ke depan,” kata
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
Komentar
Berita Terkait
Tradisi “Suran Tutup Ngisor” lereng Merapi untuk tolak bala pandemi
- 2 September 2020
Sejumlah perguruan silat di Madiun deklarasikan “Suroan” damai
- 19 Agustus 2020
“Suran tutup ngisor” ungkapan syukur petani Merapi
- 29 November 2011
Bulan Muharram dan Bulan Sura
- 18 Juli 2023
IB Agastia dan I Gede Sura terima Bali Kerthi Nugraha Mahottama
- 28 Februari 2023
Jamasan pusaka ingatkan kepala daerah agar layani masyarakat
- 19 Oktober 2017
Rekomendasi lain
Mengenal urutan pangkat polisi di Indonesia
- 24 Februari 2025
Daftar lengkap tim peserta Serie A musim 2024/2025
- 11 September 2024
Daftar perusahaan efek yang terdaftar di OJK terbaru 2024
- 3 Oktober 2024
Daftar juara Liga Champions, tim mana yang paling sukses?
- 21 Agustus 2024
Bacaan Istighfar berikut dengan artinya
- 30 Juli 2024
Cara agar terdaftar di DTKS dan cek status penerima Bansos
- 4 Februari 2025
12 nama bulan hijriah beserta dengan penjelasannya
- 6 Agustus 2024