Penyintas wanita penghibur era PD II masih menuntut keadilan

Penyintas wanita penghibur era PD II masih menuntut keadilan

  • Rabu, 9 Juli 2025 13:24 WIB
  • waktu baca 4 menit
Penyintas wanita penghibur era PD II masih menuntut keadilan
Para penyintas wanita penghibur Filipina berkumpul di halaman kecil untuk mengecam kekejaman tak terkatakan yang dilakukan Jepang selama Perang Dunia II, di Mapanique, Candaba, Provinsi Pampanga, Filipina, 6 Juli 2025. ANTARA/Xinhua/Nie Xiaoyang

Manila (ANTARA) – Saat hujan mereda di Mapanique, sebuah desa yang tenang di area persawahan Candaba di Provinsi Pampanga, Filipina, udara seakan masih melukiskan bayangan peristiwa tahun 1940-an.

Pada Minggu (6/7) pagi, 10 wanita lanjut usia (lansia) berkumpul di sebuah halaman kecil yang terlindung oleh atap sederhana. Usia mereka beragam, mulai dari yang termuda berumur 92 tahun hingga yang tertua 96 tahun.

Mereka merupakan para penyintas, wanita-wanita Filipina yang pernah dipaksa menjadi wanita penghibur dan mengalami kekejaman pahit di tangan penjajah Jepang selama Perang Dunia (PD) II.

Meski sudah lebih dari 80 tahun berlalu, beberapa dari wanita itu masih tak kuasa menahan air mata saat mengenang kembali trauma yang telah lama terpendam dalam kesunyian.

Ketika mereka mengetahui bahwa di antara para pengunjung terdapat keturunan pejuang gerilyawan Filipina-China yang melawan pendudukan Jepang, salah satu wanita itu berkata lirih, “Terima kasih sudah mengingat.”

Para penyintas wanita penghibur Filipina yang selamat dan keturunan pejuang gerilya Filipina-China berpose untuk foto bersama di Mapanique, Candaba, Provinsi Pampanga, Filipina, pada 6 Juli 2025. (Xinhua/Nie Xiaoyang)

Pada pertemuan tersebut, para penyintas melantunkan sebuah lagu balada yang penuh kesedihan, khusus diciptakan untuk mereka, dengan judul “Tolong Sembuhkan Hati Nenek” (Please Let the Heart of Grandmother be Healed). Ada satu baris yang sangat menyayat hati, “Kami tercekik, ingin mati. Tubuh dan jiwa kami tercabik-cabik.”

Ini bukanlah metafora puitis, tetapi kebenaran yang menyakitkan. Mereka telah bertahan melalui beberapa bab kehidupan paling gelap dalam penderitaan manusia.

Pada 23 November 1944, pasukan Jepang menyerbu Mapanique, menuduh warga desa itu membantu para pejuang gerilya.

Desa itu pun ditutup. Para pria dikumpulkan, disiksa, atau dibunuh. Rumah-rumah dibakar hingga rata dengan tanah. Para perempuan muda diseret dan dibawa ke Bahay na Pula (“Rumah Merah”) yang sekarang terkenal di provinsi tetangga, Bulacan, tempat mereka menjadi sasaran pemerkosaan dan perbudakan secara sistematis.

Kekejaman ini hampir tidak pernah disebutkan dalam buku-buku pelajaran, namun luka yang ditimbulkannya tetap terukir dalam tubuh dan ingatan para penyintas.

Virginia Lacsa-Suarez, seorang pengacara hak asasi manusia terkenal di Filipina yang telah lama memperjuangkan hak-hak para penyintas Malaya Lolas, sebutan untuk para penyintas itu, telah menjadi advokat yang tidak kenal lelah untuk mendapatkan pengakuan resmi dan reparasi.

“Para wanita ini telah menunggu lebih dari 80 tahun,” kata Suarez, “Tidak ada satu kata pun permintaan maaf, bahkan pengakuan atas kesalahan yang telah dilakukan oleh pemerintah Jepang pun tidak. Sikap diam itu adalah luka kedua, yang lebih dalam dari luka pertama.”

Para penyintas wanita penghibur Filipina berkumpul di halaman kecil untuk mengecam kekejaman tak terkatakan yang dilakukan Jepang selama Perang Dunia II, di Mapanique, Candaba, Provinsi Pampanga, Filipina, 6 Juli 2025. (Xinhua/Nie Xiaoyang)

Menandai peringatan 80 tahun berakhirnya PD II, Suarez menyampaikan pendapatnya bahwa “Keadilan dimulai dengan pengakuan atas kesalahan. Anda tidak dapat menyangkal apa yang terjadi pada Lolas. Penting bagi rakyat Filipina, dan bagi dunia, untuk mengingatnya, karena hanya dengan mengingatnya kita dapat mencegah kekejaman serupa terulang kembali.”

Ketika para perempuan duduk di bawah atap sederhana itu, suara mereka terus menggema, “Beri kami keadilan. Akui penderitaan yang kami alami.”

Itu bukan hanya sebuah lagu. Itu adalah seruan selama beberapa dekade untuk kebenaran.

Isu wanita penghibur telah menarik perhatian internasional selama bertahun-tahun, baik di Korea, China, maupun di berbagai negara Asia Tenggara. Meskipun disampaikan dalam bahasa dan tempat yang berbeda, semua itu mengungkapkan duka yang sama.

Namun hari ini, bahkan ketika dunia memperingati 80 tahun kekalahan fasisme, masih ada pihak-pihak yang mencoba mengecilkan, memutarbalikkan, atau menyangkal apa yang sebenarnya terjadi.

Sebagaimana dituturkan Suarez, “Kita meyakini bahwa sejarah akan selalu berulang. Namun, sejarah yang sama hanya akan terulang jika kita melupakan pelajarannya.”

Para wanita lansia yang duduk di bawah atap sederhana itu tampak tenang dari luar. Namun, di dalam diri mereka membara tekad yang lahir dari kesedihan dan kenangan masa lalu. Mereka tak tahu berapa tahun lagi harus menanti agar keadilan akhirnya ditegakkan untuk mereka.

Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Komentar

Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.

Berita Terkait

Rekomendasi lain

  • Related Posts

    DKI kemarin, target proyek MRT hingga seleksi PPSU

    English Terkini Terpopuler Top News Pilihan Editor Pemilu Otomotif Antara Foto Redaksi DKI kemarin, target proyek MRT hingga seleksi PPSU Kamis, 10 Juli 2025 04:13 WIB waktu baca 2 menit…

    Kriminal kemarin, kasus pencabulan hingga temuan mayat tanpa kepala

    English Terkini Terpopuler Top News Pilihan Editor Pemilu Otomotif Antara Foto Redaksi Kriminal kemarin, kasus pencabulan hingga temuan mayat tanpa kepala Kamis, 10 Juli 2025 04:11 WIB waktu baca 3…

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *